Artinya, ilustrasi meneliti dan memasak memiliki titik temu dalam hal-hal yang sederhana. Dengan demikian, bagi kalangan guru, semestinya meneliti itu menjadi hobi dan aktivitas yang menyatu dengan mendidik-mengajar seperti menyatunya ibu-ibu sambil momong anak, menyusui, sekaligus memasak.
Meneliti dan memasak hanya beda dalam hal integritas. Seseorang yang memasak, bahkan hasil masakannya lezat, karena meniru resep masakan yang sama dari tetangganya tidak kena aturan plagiasi resep masakan.
Justru, orang yang ditiru resep masakannya menjadi senang dan bangga karena resepnya berhasil. Akan tetapi, kalau terkait dengan resep masakan yang telah dipatenkan mereknya oleh pemilik merek/paten, kemudian ditiru dan diakui sebagai resep buatannya, itu tidak boleh.
Hal tersebut sama dengan kalau seseorang meneliti tentang hal yang sama dengan peneliti lain tanpa menyebutkan sumbernya, maka kena aturan plagiasi. Oleh karena itu, peneliti wajib memegang integritas akademik dan mengikuti kaidah ilmiah.
Selain terkait merek yang telah dipatenkan yang tidak boleh diakuisisi, bedanya aktivitas meneliti dan memasak adalah meneliti diawali dari rasa ingin tahu terhadap suatu permasalahan yang perlu dicari jawabannya, sedangkan memasak tidak demikian karena aktivitasnya bersifat rutinitas.
Akan tetapi, sesekali juga bisa melakukan eksperimen terhadap suatu masakan tertentu melalui resep-resep tertentu, sehingga diperlukan eksperimen khusus dalam memasak, hal demikian juga bisa dikatakan merupakan bagian dari aktivitas meneliti.
Meski demikian, aktivitas meneliti dan memasak memiliki perbedaan dalam urusan menuangkan dalam sebuah tulisan menjadi laporan atau artikel.
Seorang akademisi atau peneliti menuangkannya menjadi sebuah tulisan ilmiah untuk dipublikasikan, sedangkan seorang chef atau juru masak menuangkan dalam sebuah hidangan yang lezat dan bergizi untuk dipromosikan.
Terkait dengan hobi meneliti, bagaimana dengan insan akademik (dosen) di perguruan tinggi? Berdasar fakta empiris, ada sebagian dosen yang memiliki aktivitas dan semangat untuk meneliti, sebagian dosen giat menelitinya biasa-biasa saja, dan sebagian dosen tidak hobi meneliti.
Sesuai peraturan perundang-undangan, meneliti merupakan bagian dari kewajiban tridarma perguruan tinggi sehingga menjadi keharusan untuk meneliti. Terlepas dosen memiliki hobi meneliti atau tidak.
Dalam realitasnya, ada juga dosen yang melakukan penelitian karena faktor keterpaksaan. Bisa jadi karena sudah lama tidak naik pangkat dan jabatan akademik dan fungsional.
Padahal, untuk mengajukan kenaikan pangkat dan jabatan tersebut, dosen harus memiliki karya ilmiah yang dipublikasikan di jurnal ilmiah nasional/internasional/internasional bereputasi.
Dengan demikian, meneliti menjadi sebuah keniscayaan untuk dilakukan. Dalam hal ini, motivasinya bukan karena hobi, akan tetapi karena terpaksa.
Bahkan, karena terpaksa, sampai ada yang rela membeli karya ilmiah. Tentu hal tersebut merupakan pelanggaran etika akademik dan integritas.
Akan menjadi berbeda kalau motivasi meneliti itu karena hobi dan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan serta kualitas diri. Seseorang akan menjalankannya dengan senang hati dan semangat.
Tidak ada yang menyuruh pun, dosen meneliti karena menjadi bagian dari profesi yang dijalani dengan semangat.