Membangun Zona Integritas di Perguruan Tinggi

Sabtu 18-05-2024,10:48 WIB
Oleh: Suryanto dan Bagong Suyanto

Pertama, berkaitan dengan ketidakjelasan indikator dan standar penilaian untuk meraih status ZI. 

Seperti diungkap wakil Rektor Bidang Akademik dan Mahasiswa Universitas Airlangga Prof Bambang Sektiari, ”Apakah benar hanya karena ada sarang laba-laba di salah satu sudut gedung atau hanya karena ada pendapat dari stakeholder yang belum jelas kepastian kebenarannya, lantas menjadi dasar pengukuran dan penilaian ZI?” 

Di sini Prof Bambang mempertanyakan seberapa jauh sebetulnya validasi telah dilakukan dalam penilaian ZI? Bukan tidak mungkin akibat ketidakjelasan penilaian, lantas memengaruhi antusiasme PT mengikuti program penilaian ZI.

Kedua, berkaitan dengan dampak langsung ZI yang belum dirasakan oleh SDM yang ada di lembaga. Upaya untuk membangun ZI terkesan masih menjadi program yang elitis dan sekadar melayani kepentingan pusat daripada sebagai program yang memberikan manfaat bagi SDM di level bawah. 

Sepanjang SDM di lembaga yang mengikuti program ZI belum merasakan manfaat langsung program itu, sangat mungkin dukungan yang diharapkan tidak akan tumbuh dari bawah.

Ketiga, berkaitan dengan standar penilaian yang mampu mencakup kekhasan dan perbedaan dari masing-masing lembaga. PT sebagai sebuah lembaga pendidikan tinggi tentu tidak mungkin dicampur dengan lembaga lain, seperti museum atau lembaga birokrasi lain. 

Di sini kekhasan PT tentu akan hilang dan tidak terdeteksi jika sistem penilaian ZI berlaku terlalu umum dan tidak menimbang kekhasan PT yang memiliki ciri-ciri yang berbeda dari lembaga birokrasi lain.

MEMBANGUN ZONA INTEGRITAS

Secara garis besar, kiat sukses untuk membangun ZI sebetulnya sederhana. Yakni, adanya komitmen dan semangat. Komitmen tentu tidak hanya dari pimpinan, tetapi juga adanya dukungan dari staf di tingkat bawah. Sedangkan semangat dibutuhkan karena tidak mungkin upaya pengembangan ZI bisa sukses jika tidak didukung semangat yang kuat dari seluruh elemen terkait. 

Secara garis besar, ada beberapa tantangan dan upaya yang perlu dikembangkan PT untuk mewujudkan ZI.

Pertama, komitmen pimpinan instansi menjadi kunci keberhasilan untuk mewujudkan ZI. Sebab, sebagai role model, bentuk dukungan dan arahan pimpinan akan berdampak besar terhadap pelaksanaannya. Tidak mungkin ZI dapat diwujudkan jika tidak ada contoh konkret dari pimpinan yang bisa diacu.

Kedua, harus didukung kebijakan dan program yang jelas sebagai pedoman yang dapat diikuti dengan konsistensi dalam pelaksanaan pembangunan ZI. 

Keberadaan SOP tidak hanya menjadi acuan bagi dosen maupun tenaga kependidikan untuk menawarkan layanan yang dibutuhkan mahasiswa dan seluruh stakeholder terkait, tetapi juga menjadi acuan bagi mahasiswa untuk menakar seberapa jauh mereka telah terlayani dengan baik. 

Intinya, secara umum, perlu ada prosedur operasional yang jelas sehingga proses pelaksanaan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kegiatan rutin lembaga.

Ketiga, pembangunan ZI dapat menjadi salah satu indikator kinerja utama pimpinan yang kemudian diturunkan secara berjenjang kepada pejabat atau staf di bawahnya. Dengan sepakat membangun ZI, komitmen pimpinan akan diterjemahkan lebih lanjut oleh fakultas, lembaga, dan badan yang ada di lingkungan kampus untuk mewujudkannya di semua lini.

Keempat, perlu dikembangkan sistem penghargaan atau insentif kepada seluruh civitas academica yang mampu mendapatkan, mempertahankan, dan meningkatkan predikat WBK dan WBBM. 

Kategori :