Sebenarnya, kalau kita melihat semangat untuk berdemokrasi, pemilihan langsung presiden adalah jalan terbaik. Yakni, menerima langsung mandat dari rakyat. Sebab, secara teori demokrasi, rakyatlah pemilik demokrasi.
Apalagi, kita menganut sistem presidensial. Presiden yang memiliki kekuasaan besar sebagai kepala negara dan pemerintahan harus punya legitimasi kuat dari rakyat.
Lain halnya bila kita menganut sistem parlementer. Sistem itu akan melahirkan pemerintahan dari hasil lobi dan kompromi partai di parlemen.
Memang, dalam pemilihan presiden langsung, telah muncul praktik politik uang. Namun, bila kita menyalahkan sistemnya, itu adalah kekeliruan. Pasalnya, yang menjadi persoalan dalam politik uang adalah aktor politiknya.
Sebab, aktor politiklah yang menciptakan transaksi politik uang. Aktor politiklah yang menciptakan politik berbiaya tinggi. Andaikan lewat MPR sekalipun, tidak berarti potensi politik transaksi uang itu hilang. Yang terjadi hanya perpindahan sasaran politik uang.
Transaksi politik uang yang sebelumnya dari elite ke rakyat menjadi dari elite ke elite (antara calon presiden dan anggota MPR atau elite parpol).
Bila pilres kembali ke MPR, itu sebuah kemunduran. Pasalnya, nasib bangsa ditentukan segelintir elite politik.
Bukankah sekarang juga bergantung pada segelintir elite yang menentukan jalan pilpres langsung? Ya, tapi ada ruang pembenahan. Problem sekarang adalah aktor politiknya. Bukan masalah sistem.
Untuk menjalankan pilpres langsung oleh rakyat, kita memang butuh presiden yang memiliki komitmen demokrasi yang kuat. Berani menegakkan hukum untuk jurdil. Seorang negarawan.
Apakah pilpres akan kembali ke tangan MPR? Ini semua bergantung parpol atau aliansi yang menguasai Senayan nanti. Percikan dari Amien Rais bisa jadi akan menginspirasi elite parpol.
Kalau pilpres kembali ke gedung kura-kura, berarti kita akan makin melupakan reformasi. Apalagi, penyakit-penyakit reformasi seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme makin tumbuh subur. (*)