Pemerintah pusat Indonesia sepertinya belum melirik peluang-peluang pengembangan pariwisata Zona Perang Biak. Bahkan belum ada upaya signifikan untuk menghadirkannya di kancah destinasi domestik maupun mancanegara.
Bila menoleh ke negara tetangga seperti Vietnam, kita tahu bahwa Museum Sisa Perang di Kota Ho Chi Minh Vietnam dioperasikan di bawah kendali pemerintahan nasional Vietnam.
Sementara “museum” sisa perang di Zona Perang Biak diwakili oleh museum 'mini' yang dikelola oleh penjaga Gua Binsari dengan metode penyimpanan dan konservasi yang sama sekali kurang layak.
Puing-puing Perang Biak tidak hanya tersebar di daratan tapi juga di dasar laut. Salah satunya pesawat amfibi Catalina milik Angkatan Udara Amerika Serikat yang masih tertinggal 30 meter di dasar laut Biak. --Sofi Aida Sugiarto
Banyak dari sisa-sisa perang masih tersebar di Pulau Biak dan kemungkinan besar sebagian masih terpendam di dalam tanah atau di dasar laut. Salah satunya pesawat amfibi Catalina milik Angkatan Udara Amerika Serikat yang masih tertinggal 30 meter di dasar laut Biak.
Artefak-artefak penting tersebut perlu mendapat payung perlindungan dan kekuatan hukum terutama dari pemerintah pusat. Pelestarian dan konservasi sisa-sisa perang di Biak harus dilembagakan dengan baik. Agar sisa-sisa perang yang berharga dapat dikelola secara optimal.
BACA JUGA: Memberantas Anemia Remaja dengan Program Aksi Bergizi
Semua itu bisa menjadi wadah bagi pengunjung untuk belajar sejarah dan mengenang salah satu momen kelam dalam kehidupan manusia. Salah satunya dengan mengunjungi Monumen Perang Dunia ke-II di Paray, Biak menjadi penanda ganasnya Perang Pasifik dan sebagai pengingat bahwa tidak ada pemenang dalam perang.
Sayangnya, kawasan wisata perang Biak belum banyak dikenal dunia. Bahkan belum dikenal masyarakat Indonesia. Itu diduga karena minimnya pemberitaan.
Sementara promosi pariwisata saat ini memanfaatkan praktik-praktik modern dan sangat tergantung pada media massa, komunikasi, dan teknologi transportasi yang memungkinkan mobilisasi banyak orang (Elliott & Milne, 2019).
BACA JUGA: Pengembangan Wisata Perang Biak (2): Mengenang Momen Kelam
Zona perang Biak sudah saatnya lebih gencar diekspos di beberapa media dengan melibatkan media sosial melalui berbagai jenis konten di berbagai platform seperti Facebook, Twitter, WhatsApp, Instagram, atau bahkan TikTok.
Pun perlu menugaskan orang-orang yang memiliki keterampilan dalam pengembangan media. Pertanyaannya, adakah niat dan semangat untuk mengembangkan wisata Zona Perang Biak? (*)
Artikel ini ditulis oleh Evi Aryati Arbay, peneliti Posh Pacific War di wilayah Papua, penulis buku Biak Debris of War