Jauh sebelum NU berdiri, para Ulama Jawa Timur sudah sering berkumpul di Surabaya untuk membincang banyak hal tentang agama dan masyarakat. Langgar Gipo jadi semacam “markas”. Hal ini terus berlangsung hingga meletusnya pertempuran 10 November tahun 1945.
----
SETELAH lebih dari 20 tahun terbengkalai, Langgar Gipo akhirnya diresmikan oleh Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi sebagai cagar budaya dan destinasi wisata religi pada Sabtu, 15 Juni 2024.
Saya tertegun melihat langgar yang dulunya sangat angker dan meremangkan bulu kuduk sekarang sudah bersolek cantik dengan kolom beton berbalut kayu jati yang dipoles mengkilap, lengkap dengan lampu led kuning menyinari lis tembok yang membuatnya tampak mewah.
Lantai bawah tetap mempertahankan fungsinya sebagai tempat salat dan ibadah. Sementara lantai 2 disulap menjadi museum sejarah NU dan benda-benda peninggalan langgar Gipo yang masih terselamatkan.
BACA JUGA:Kisah Langgar Gipo (Bagian 3): Persinggahan Sebelum Perjalanan Haji Yang Penuh Bahaya
Setelah 6 tahun, saya bertemu lagi dengan Ketua Yayasan Insan Keturunan Sagipoddin (IKSA) H. Abdul Wahid Zein. Dengan senyum terkembang, ia langsung mengingat peristiwa “susur makam” Hasan Gipo tahun 2016 lalu.
Apa yang terjadi pada Langgar Gipo setelah saya tinggal ke Jakarta? Tanya saya pada beliau di sebuah kesempatan.
Lantai 2 Langgar Gipo menjadi Museum tempat mengenal ulama-ulama Jawa Timur yang berperan dalam perjuangan mendirikan NU-Syahirol Layeli/Harian Disway-
Yang jelas, kata Zein, perjuangan untuk mengangkat sejarah Langgar Gipo terus berlanjut. Pengajuan ke PBNU memang belum mendapatkan respon yang menggembirakan, tapi justru Pemkot Surabaya yang pertama kali mengulurkan tangan.
Pada tahun 2018, Zein sedang berada di pusat pelayanan Pemkot Surabaya di Gedung Siola, Surabaya. Tak sengaja, ia curhat pada salah satu pegawai Pemkot bahwa keluarganya mengelola sebuah musala yang menjadi bagian penting dari sejarah Kota Surabaya.
Dari pegawai tersebut, Zein mendapatkan nomor telepon Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota (Bappeko, sekarang Bappedalitbang) Eri Cahyadi. Zein pun mengontak Eri dan menceritakan hal yang sama.
BACA JUGA:Kisah Langgar Gipo (Bagian 2): Pendiri NU dan Muhammadiyah Bersemayam Dalam Satu Petak Makam
“Tanpa proposal, tanpa apa, langsung Pak Eri menyatakan siap untuk melakukan pemugaran,” tutur Wahid Zein.
Proses asesmen bangunan, perencanaan, dan pemugaran tahap pertama berlangsung tahun itu juga. Sempat terhenti sampai berlanjut pada Februari 2024 saat Eri Cahyadi sudah menjadi Wali Kota dan mengeksekusi masterplan pembangunan Surabaya Kutho Lawas.