Maka, tantangan satgas dalam memberantas judi online tidaklah mudah. Terdapat beberapa pendekatan yang bisa menjadi bahan pertimbangan.
Pertama, melakukan upaya komprehensif yang bersifat edukatif. Tak hanya mengeliminasi aplikasi perangkat lunak penunjang situs judi online, tetapi juga menyertainya dengan upaya investigatif ke hulu server dengan mengamputasi jaringan judi online dengan melibatkan jaringan siber Interpol. Sebab, mayoritas server judi online berada di luar jangkauan wilayah hukum Indonesia.
Kedua, aparat kepolisian, PPATK, dan OJK serta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) senantiasa memperkuat sinergisitas untuk memblokir semua rekening bank yang terindikasi dengan judi online.
Pemusnahan ekosistem aktivitas ilegal itu tidak akan tuntas jika iklan-iklan judi online masih dibiarkan berkeliaran di pelbagai platform media sosial. Termasuk mengambil tindakan tegas kepada para influencer yang turut mempromosikan judi online. Per Mei 2024 Kominfo telah melakukan take down 1.904.246 konten judi online.
Ketiga, mengubah mindset bahwa pelaku judi online bukanlah korban, melainkan pelaku kriminal yang perlu mendapat sanksi hukuman. Sebab, sangat jelas dalam KUHP Pasal 303 bahwa judi termasuk tindakan kejahatan yang dapat diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sepuluh juta rupiah. Dengan begitu, adanya wacana pemberian bansos (bantuan sosial) kepada ”korban” judi online dinilai sangat ”jauh panggang dari api”.
Alangkah baiknya, pemberian bansos dialihkan kepada mereka yang terkena dampak PHK melalui pemberian modal usaha dan mereka yang memiliki usaha-usaha produktif seperti usaha home industry, UMKM, dan industri berskala kecil, yang macet terkena dampak pandemi Covid-19 yang sampai kini dalam taraf upaya melakukan recovery untuk bangkit kembali aktif. (*)
Sukarijanto, direktur di Institute of Global Research for Entrepreneurship & Leadership dan kandidat doktor di program S-3 PSDM Universitas Airlangga-Dok Pribadi-