Menakar Efektivitas Satgas Pemberantasan Judi Online

Sabtu 06-07-2024,00:54 WIB
Oleh: Sukarijanto

Bisa dibayangkan, berapa puluh triliun duit para wakil rakyat yang terhormat yang ”hangus” sia-sia.

Tidak berlebihan jika tuntutan publik yang geram terhadap keterlibatan anggota dewan, mulai DPRD sampai DPR RI, yang terendus bermain judi online tidak cukup hanya didakwa melanggar kode etik, tapi juga harus diselesaikan dengan hukum pidana agar menimbulkan efek jera. 

Sebagaimana tindak pidana perjudian pada umumnya, judi online bukan delik aduan. Dengan demikian, penegak hukum dalam Satgas Pemberantasan Judi Online dapat bertindak tanpa memerlukan laporan atau aduan dari korban.

BACA JUGA: Indonesia Darurat Judi Online

BACA JUGA: Berantas Judi Online, Kominfo Luncurkan Kanal Edukasi Baru

Dalam sebuah Journal of Social Science Research dipaparkan bahwa faktor fundamental pendorong seseorang berjudi adalah ekonomi seperti sulitnya mendapat pekerjaan, naiknya harga pangan, dan gaji di bawah rata-rata yang membuat kesulitan untuk memenuhi kebutuhan (Septu & Azizah, 2024). 

Hal tersebut mendorong seseorang melakukan judi, baik secara konvensional maupun online. Mereka berharap memperoleh keuntungan ”besar” tanpa harus bersusah payah. Sejalan dengan itu, beberapa literatur ilmiah juga menyatakan bahwa faktor ekonomi menjadi salah satu alasan seseorang untuk melakukan judi online. 

Hal itu terjadi bukan hanya pada orang dewasa, tetapi juga terjadi pada golongan pelajar dan mahasiswa. Tentu masih banyak faktor lain yang memengaruhi seperti faktor kesenangan, faktor perkembangan teknologi, sampai faktor lingkungan. Misalnya, terpengaruh oleh teman, influencer, dan lain-lain. 

Akan tetapi, menurut temuan lain, satgas judi online mengungkap fakta yang berbeda. Yakni, sebanyak 2,37 juta penduduk yang main judi online didominasi penduduk usia 30–50 tahun yang tercatat sekitar 40 persen. Lebih jauh lagi, 80 persen dari 2,37 juta tersebut merupakan penduduk golongan menengah ke bawah. 

Kondisi itu cukup beralasan. Pasalnya, untuk melakukan judi online, seseorang minimal harus punya perangkat seperti smartphone, punya akses internet, punya modal, dan tentu saja memiliki waktu luang untuk melakukan judi online yang kondisi itu akan sulit dilakukan golongan penduduk miskin. 

Dengan demikian, secara tersirat ada indikasi bahwa sebagian besar pejudi online itu tidak berasal dari golongan penduduk miskin yang dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari saja sudah kesulitan. Terlepas dari segmen mana pun, realitasnya para peminat judi online merambah ke segala kelompok dan usia.

AMPUTASI SAMPAI AKAR

Dalam buku berjudul Future Crimes: Inside the Digital Underground and the Battle for Our Connected World karya Marc Goodman dipaparkan hipotesis bahwa ”sekali seseorang masuk ke dunia digital, saat itulah mereka sulit lepas dan jejak digitalnya mustahil dihapus”. 

Berangkat dari filosofi Marc Goodman, permainan judi online menyuguhkan iming-iming menggiurkan. Dalam temuan, sekali pasang taruhan Rp 50 ribu, petaruh akan menangguk keuntungan Rp 1,5 juta jika menang dalam sekali kesempatan. 

Momentum itulah yang mendorong seseorang akan menjadi ketagihan, seakan tidak ingin melewatkan keuntungan menggiurkan di depan mata, berapa pun modal akan terus dipertaruhkan di situs judi online. 

Demikian pula ketika telah kehabisan modal, petaruh tak segan-segan menoleh aplikasi pinjaman online (pinjol) untuk melanjutkan petualangan permainan haram tersebut. Konsekuensi terburuknya, akan terbangun sebuah ”hubungan maut”, judi online-pinjol, yang niscaya membawa kehancuran ekonomi seseorang.

Kategori :