Awal Golden Years Sepak Bola Spanyol?

Sabtu 13-07-2024,21:43 WIB
Oleh: I Basis Susilo

BACA JUGA: Marc Cucurella Bahagia di Chelsea, Si Kribo Bantah Rumor Pulang ke Spanyol!

BACA JUGA: Spanyol vs Prancis: Kelincahan Nico-Yamal Melawan Ketajaman Kylian Mbappe!

Mereka seperti petarangan yang mencetak calon-calon pemain dunia, yang ditangani pelatih-pelatih terbaik. Di asrama La Masia, misalnya, ada 83 pemain belasan tahun dari Spanyol dan beberapa negara lain. Dilatih 24 orang. Ada tim dokter, psikolog, ahli gizi, juru masak, dan ahli fisik.

Di sekolah-sekolah sepak bola itu anak-anak tidak hanya diajari sepak bola, tetapi juga belajar kehidupan. Yakni, bagaimana bermain baik, positif, produktif, serta menjaga dan membangun kerja sama tim. Dari La Masia, misalnya, bermunculan pemain kelas dunia seperti Gerard Pique, Cesc Fabregas, Andres Iniesta, Xavi Hernandez, Pedro Rodriguez, Carles Puyol (bahkan, Lionel Messi sejak usia 10 tahun belajar sepak bola di La Masia itu). 

Bisa dilihat dalam pertandingan, hampir tidak ada pemain Spanyol yang pura-pura sakit, mengumpat, dan mengulur-ulur waktu. Bahkan, sepertinya mereka tak punya rasa lelah karena aktivitas kariernya ditunjang mental persaudaraan antar pemain (mental band of brothers) dan melibatkan istri dan anak-anak mereka.

KEBIJAKAN LA LIGA

Dalam struktur dan sistem di La Liga memang ada juga pemain-pemain kelas dunia dari luar Spanyol. Tapi, jumlahnya tidak sebanyak di Inggris, Italia, dan negara-negara Eropa lainnya. Di sana yang muda di bawah 21 tahun pemain disebut mutiara (pearl), usia 21–26 disebut tulang punggung (backbones).

Pengutamaan pemain dalam negeri tampak dari tekad Louis van Gaal, pelatih Barcelona, untuk memenangi Liga Champions dengan sepuluh pemain asal La Masia. Barcelona kemudian memang menjuarai Liga Camphions pada 2009, tetapi dengan delapan pemain dari petarangan La Masia itu. 

Pengutamaan pemain muda tampak dari ungkapan Pep Guardiola: ”Ada banyak pemain muda di dunia, tetapi perlu keberanian untuk memberikan kesempatan kepada mereka bermain. Kami menerapkan itu.”

GOLDEN YEARS KEDUA?

Timnas Spanyol setelah 2012 meredup. Sebab, timnas-timnas lain mulai mempelajari dasar strategi Spanyol dan melihat celah-celah dari kelemahan strategi gabungan total football dan tiki-taka itu. 

Tiki-taka dan total football memerlukan umpan-umpan pendek dan akurat sehingga para pemainnya harus dekat dengan bola. Juga, harus berkonsentrasi penuh sepanjang permainan. Tidak boleh salah umpan. Pun, mesti unggul dalam penguasaan bola.

Strategi itu punya kelemahan. Karena pemain banyak mengumpul di sekitar bola, tersedia cukup banyak ruang lain! Bila ada pemainnya yang keliru mengumpan bola, lawan bisa memanfaatkan ruang-ruang lain itu untuk menyerang balik!

Kelemahan strategi gabungan total football dan tiki-taka dilihat pelatih Spanyol saat ini, De la Fuente. Dalam beberapa kesempatan, Fuente mengatakan lebih tertarik Carlo Ancelotti –yang pragmatis dan efisien– ketimbang Pep Guardiola yang setia pada total football dan tiki-taka. Sepertinya Fuente memilih tidak harus selalu pakai total football dan tiki-taka. Cara lain dilpilih dan dilakukan asal memenangkan pertandingan.

Orang mengira Fuente sudah meninggalkan total football dan tiki-taka. Mungkin, tetapi apakah bangunan dasar total football dan tiki-taka bisa diganti begitu saja? Terutama tiki-taka yang merupakan ciri khas permainan orang Spanyol. 

Bisakah jati diri itu diabaikan atau diganti? Mungkin lebih tepat dikatakan, Spanyol menambahkan unsur baru, yaitu efektivitas dan pragmatisme, dari Real Madrid, untuk memperkuat total football dan tiki-taka dari Barcelona yang sudah ada. Atau, penggabungan daya La Masia (Barca) dan La Fabrica (Real Madrid).

Kategori :