Itulah sekilas pandangan pakar terhadap kasus pembunuhan Vina dan Eky di Cirebon, Sabtu, 26 Agustus 2016, pukul 23.30 WIB. Khususnya, pada status tersangka utama pembunuhan itu, Pegi Setiawan. Hampir pasti, seumpama tidak dibebaskan atas putusan praperadilan PN Bandung, Pegi bakal dihukum mati. Sebab, tujuh pelaku biasa (bukan pelaku utama) kini menjalani hukuman penjara seumur hidup.
Reza menyindir keras psikotes Polda Jabar atas Pegi beberapa waktu lalu. Psikotes itu ternyata menghasilkan penilaian akhir, yakni Pegi punya IQ 78, suka berbohong, dan manipulatif.
Hasil tes itu saja sudah kontradiktif. Berdasar tes IQ Stanford-Binet, seseorang dengan hasil tes 90 sampai 109 berada di level rata-rata (average) alias normal. Hasil 78 (Pegi, versi tim psikolog Polda Jabar) berada di level skor 70–79: batas tertinggal (borderline delayed).
Orang dengan tingkat IQ di bawah normal pasti tidak punya kemampuan memanipulasi sesuatu.
Terpenting bukan hasil tes itu. Terpenting, adalah pertanyaan, apakah hasil tes itu mengarah langsung terhadap pembuktian perkara bahwa Pegi adalah (pasti) pelaku utama atau otak pembunuhan Vina dan Eky? Sebab, substansi penyidikan polisi dalam setiap perkara pembunuhan adalah memastikan, tanpa keraguan, berdasar dua alat bukti hukum yang kuat, bahwa tersangka pasti pelakunya atau pelaku utama.
Tingkat IQ dan penilaian bahwa Pegi suka bohong serta manipulatif bukan alat bukti hukum langsung. Keterangan tersangka (bohong atau jujur) bukan alat bukti hukum langsung suatu perkara pembunuhan.
Di negara-negara maju seperti Inggris, yang kitab undang-undangnya diadopsi Belanda, dan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) kita adalah warisan langsung milik Belanda, keterangan tersangka sudah diabaikan dalam penyidikan sejak tahun 1930-an. Atau, sejak hampir seabad lalu.
Sebab, jika penyidik menjadikan keterangan tersangka sebagai bukti hukum, penyidik terombang-ambing. Hampir semua tersangka berbohong. Namun, tidak semua pembohong pasti tersangka.
Di Inggris beberapa tahun silam ada kasus pembunuhan dan ada orang mengaku ke polisi sebagai pembunuhnya. Ternyata orang itu diabaikan polisi. Sebab, setelah diselidiki secara ilmiah, pengakuan orang itu bohong. Tidak sinkron dengan hasil investigasi. Entah apa motif orang itu. Mungkin ia melindungi pelaku yang sesungguhnya.
Di kasus Vina, khususnya tersangka Pegi, praperadilan PN Bandung menyatakan bahwa penyidik tidak melengkapi berkas perkara dengan minimal dua alat bukti hukum yang kuat sebagaimana diatur dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).
Hakim tunggal Eman Sulaeman di sidang praperadilan itu tidak menyinggung hasil psikotes. Atau, mengabaikan psikotes. Sebab, psikotes terhadap tersangka (Pegi) bukan alat bukti hukum langsung dalam perkara pembunuhan Vina dan Eky.
Alat bukti hukum langsung, berdasar metode scientific crime investigation (SCI) yang dicanangkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, adalah semua fakta kejadian yang diuji secara ilmiah berdasar berbagai cabang ilmu pengetahuan.
Misalnya, sidik jari tersangka, DNA korban dan tersangka, jejak kaki atau sepatu tersangka, forensik, arah masuknya benda tajam ke tubuh korban apakah dilakukan orang kidal atau kinan (berdasar Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan Oktober 2019, kinan berarti orang yang terampil menggunakan tangan kanan).
Arah masuknya benda tajam ke tubuh orang bisa diketahui, apakah ditusukkan kidal atau kinan. Dan, beberapa cabang ilmu, termasuk psikologi.
Pegi kini sudah bebas murni berdasarkan hukum. Amar putusan praperadilan nomor 5 menyebutkan: Hakim menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan tersangka yang dikeluarkan lebih lanjut oleh termohon (Polda Jabar), yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri pemohon (Pegi) oleh termohon.
Di situ ada kata“”...yang dikeluarkan lebih lanjut”. Berarti untuk selanjutnya pun Pegi tidak bisa dijadikan tersangka dalam perkara tersebut.