Munculnya istilah jalan tengah di era Jenderal Abdul Haris Nasution juga tak lepas dari posisi militer yang terlibat dalam ranah sipil dan bisnis. Dan, itulah yang melahirkan dwifungsi.
Era rezim Soeharto, bisnis militer makin meluas. BUMN raksasa seperti Pertamina dipimpin tentara aktif Ibnu Sutowo. Bukan hanya jenderal, Sutowo juga dikenal sangat dekat dengan Soeharto.
Bulog (Badan Urusan Logistik) juga dikenal lumbung dana militer di era Orde Baru. Selama bertahun-tahun dipimpin Bustanil Arifin yang juga jenderal.
BACA JUGA: Terjadi Perpecahan, Sekutu Amerika Serikat Enggan Terlibat dalam Operasi Militer Prosperity Guardian
BACA JUGA: RS Indonesia di Gaza Dijadikan Markas Militer oleh Israel, MER-C: Melanggar Konvensi Jenewa
Banyak lini bisnis di era Orde Baru (Orba) yang bersentuhan dengan jaringan ABRI. Beberapa institusi bisnis milik militer berbentuk koperasi dan yayasan. Termasuk Kobame (Koperasi Baret Merah), Inkopad, dan Inkopal.
Sejumlah konglomerat seperti Tommy Winata menjadi besar karena kedekatannya dengan sejumlah jenderal. Bank Propelat yang lahir di Kodam Siliwangi menjadi cikal bakal Bank Artha Graha yang dikuasai Tommy Winata.
Seiring jatuhnya Orde Baru, bisnis TNI meredup. Mulai mundur teratur karena desakan publik yang menginginkan TNI kembali ke barak (menjadi militer profesional).
Puncaknya, lahir UU TNI 34/2004. UU itu secara tegas mengunci bisnis TNI dan anggota TNI. Di pasal yang sama, TNI juga dilarang terlibat politik praktis.
Setelah 20 tahun, ada upaya membuka gembok bisnis. Upaya itu bakal menjadi kontroversial. Sebab, bila pintu bisnis buat TNI dibuka, perhatian TNI sebagai alat pertahanan akan terpecah.
Yang paling berbahaya, ada potensi penyalahgunaan kekuasaan. Yang pada akhirnya menurunkan kepercayaan rakyat.
Romantisme masa lalu, yakni prajurit mencari dana untuk operasional militer, sudah tidak relevan. Sebab, nilai APBN yang mengalir ke Kementerian Pertahanan (Kemenhan) sudah sangat besar.
Apalagi, di era Prabowo jadi menteri pertahanan, Kemenhan selalu mendapat pagu anggaran jumbo. Sejak 2019, Kemenhan dan Kemen PUPR secara bergantian mendapat anggaran terbesar. Tahun 2023, Kemenhan kebagian Rp 123,4 triliun dan untuk 2024 meningkat menjadi Rp 139,27 triliun.
Dengan demikian, sudah tak ada alasan kekurangan finansial. Jadi, untuk apa TNI kembali berbisnis? (*)