Konser-konser besar telah membuktikan berhasil mendorong pemulihan ekonomi Singapura pascapandemi Covid-19. Strategi ekonomi dengan menggelar konser musik selebritas dunia telah mendongkrak daya tarik negeri jiran tersebut sebagai negara tujuan utama wisata hiburan dan menyumbang hingga 10 persen produk domestik bruto (PDB)-nya.
Pergeseran orientasi dari wisata landscape view ke arah entertainment tourism berskala besar merupakan bukti kemampuan adaptasi negara kota itu mendiversifikasi penggerak perekonomiannya.
Profesor Seshan Ramaswami dari Singapore Management University memaparkan perubahan orientasi strategi pariwisata negaranya dengan menanamkan citra bahwa pergelaran konser Taylor Swift dan band-band ternama di dunia telah menjadikan Singapura sukses menjelma sebagai panggung besar di dunia internasional dan pusat hiburan pariwisata pencinta musik generasi muda dari berbagai penjuru dunia, termasuk Timur Tengah.
Bahkan, majalah bisnis Bloomberg memaparkan hasil investigasinya: sekali konser Swift Taylor di Kota Colorado, Amerika Serikat, telah berkontribusi mengatrol angka produk domestik bruto melalui pengeluaran belanja publik (public spending) sebesar USD 140 juta.
Seiring dengan catatan The Federal Reserve Bank of Philadelphia, Swiftonomics itu berhasil menstimulasi melonjaknya angka okupansi hotel dan pariwisata.
Bagaimana dengan Indonesia? Menurut catatan Kamar Dagang dan Industri Indonesia, penampilan musikus dunia di Jakarta –yakni Coldplay bulan November tahun lalu yang dipadati sekitar 81 ribu penonton– telah berhasil menciptakan perputaran uang sebesar Rp 1,2 triliun dalam sekali tampil.
Perputaran uang tersebut berasal dari penjualan tiket online, penuhnya okupansi kamar hotel, hingga meningkatnya penggunaan transportasi umum dan sektor ekonomi lainnya.
Oleh karena itu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno pun pernah berujar dan membayangkan jika sehari saja konser Coldplay telah menggerakkan perputaran uang yang besarnya begitu fantastis, bagaimana kalau konser tersebut digelar enam hari berturut-turut.
Di saat perekonomian global berada dalam situasi penuh ketidakpastian dan pertumbuhan angka investasi yang stagnan, pergeseran orientasi eksplorasi sumber-sumber ekonomi baru yang inovatif penting untuk dilirik.
Sebagaimana fenomena Swiftonomics yang kini menjalar, pemerintah seyogianya tidak ragu untuk melirik sektor industri wisata hiburan sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi baru, kenapa takut? (*)
Sukarijanto, pemerhati kebijakan publik dan peneliti senior di Institute of Global Research for Economics, Entrepreneurship & Leadership; kandidat doktor di Program S-3 PSDM Universitas Airlangga.--