Dilanjut: ”Tahu-tahu, ia ditangkap di depan SMPN 11 Cirebon, kemudian dibawa ke Polresta Cirebon di ruang unit narkoba mengalami penyiksaan dan kemudian dipaksa mengakui peristiwa pembunuhan dan pemerkosaan tersebut. Padahal, klien kami tidak tahu apa-apa.”
Di antara sekian banyak versi yang beredar terkait kasus ini, mayoritas menyatakan bahwa ini kasus kecelakaan lalu lintas tunggal. Bukan pembunuhan.
Korban Eky adalah anak Rudiana yang waktu itu Rudiana adalah anggota Satuan Narkoba Polresta Cirebon. Semula polisi menyatakan bahwa kasus tersebut kecelakaan tunggal. Lantas, Rudiana menyidik kasus itu sebagai pembunuhan. Tentu ada conflict of interest Rudiana saat menyidik kasus itu sebagai pembunuhan. Ia dari satuan narkoba. Bukan dari reskrim yang biasa menyidik perkara kriminal umum.
Namun, para atasan Rudiana waktu itu membiarkan. Bahkan, berita acara pemeriksaan (BAP) ditandatangani kapolres saat itu. Lantas, berkas dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Cirebon.
Kalau dianggap tidak prosedural oleh kejaksaan, berkas perkara itu semestinya dikembalikan ke polisi. Namun, ini dilimpahkan ke PN Cirebon sehingga perkara disidangkan. Sampai jatuh vonis. Perkaranya inkrah.
Dari rentetan itu, kesalahan perkara tersebut (seandainya dinyatakan salah) tidak cuma di polisi. Rangkaian proses perkara hukum seperti di atas, berarti kejaksaan dan PN Cirebon juga tergiring salah.
Jarang terjadi kasus seperti itu. Pada 1974 dua petani, Sengkon dan Karta, diadili dengan dakwaan merampok dan membunuh. Mereka dijatuhi hukuman 12 tahun penjara. Namun, kemudian ada perkembangan baru, yakni bukan mereka perampoknya.
Sengkon dan Karta dibebaskan dari penjara pada 4 November 1980. Setelah enam tahun mereka dipenjara. Sedangkan di kasus Vina, tujuh terpidana sudah menjalani hukuman delapan tahun. Sudah memecahkan rekor Sengkon dan Karta dari segi lama dihukum penjara. (*)