EKONOMI SYARIAH akhir-akhir ini berkembang pesat. Apalagi, keuangan syariah. Paling tidak, itu tampak dari tiga aspek ini: area perkembangan, institusi, dan produknya.
Dari sisi area, pasar keuangan Islam (syariah) tahun 1970-an hanya ada di Timur Tengah, lalu tahun 1980-an ke Asia. Kini keuangan syariah telah merambah Asia-Pasifik, Amerika, Eropa, Australia, dan pasar global.
Begitu juga dari sisi institusi. Diawali hanya dari bank Islam komersial, kini keuangan syariah sudah merambah ke takaful (asuransi), multifinance, Islamic investment companies, asset management companies, broker/dealer Islamic investment bank, e-commerce, koperasi syariah, dan sebagainya.
Perkembangan luar biasa juga ditunjukkan oleh produk keuangan syariah. Jika dulu hanya ada produk dasar bank komersial, kini produk keuangan syariah sudah beraneka ragam.
Ada gadai syariah, kartu kredit syariah, saham syariah, reksa dana syariah, obligasi syariah, berbagai produk asuransi, dan sebagainya. Di pasar global, ada Islamic asset backed securities, hedge funds, private equity, Islamic derivatives, dan sebagainya.
Tampaknya, ke depan keuangan syariah akan terus berkembang. Pasar yang terus tumbuh membawa konsekuensi munculnya institusi-institusi baru keuangan syariah serta produk-produk keuangan yang makin beragam.
BACA JUGA: Podcast mes-emil: Bank Indonesia Jatim Dorong Pengembangan Ekosistem Ekonomi dan Keuangan Syariah
Seperti keuangan konvensional, keuangan Islam memang juga dituntut menyediakan wadah untuk menampung keinginan dan kebutuhan pasar. Meski, tentu, tetap dalam koridor syariah yang membedakannya dengan keuangan konvensional.
Meski perkembangan keuangan syariah sangat pesat, market share keuangan syariah ternyata masih kecil. Paling tidak, di Indonesia. Aset perbankan syariah, misalnya, masih di sekitar 6 persen. Itu pun sudah didorong konversi dua bank konvensional yang punya unit usaha syariah menjadi bank syariah.
Yaitu, bank milik pemerintah daerah Aceh dan Nusa Tenggara Barat. Market syariah pada lembaga keuangan syariah yang lain seperti asuransi, pegadaian, koperasi, dan lainnya tidak jauh beda. Sekitar 5 persen.
Dalam berbagai riset, salah satu penyebab 5 persen trap itu adalah pasar keuangan syariah yang didominasi swing customer. Nasabah yang mudah berpindah-pindah. Dari konvensional ke syariah, lalu ke konvensional lagi.
Mereka memilih layanan keuangan berdasar benefit-nya. Tak penting syariah atau konvensional, yang penting lebih menguntungkan. Dalam berbagai riset, swing customer itu mencapai 80–85 persen.
Syariah loyalis, yakni nasabah yang memilih layanan keuangan karena faktor syariah, ternyata hanya sekitar 20 persen. Itulah nasabah yang memilih layanan keuangan dengan pertimbangan kesyariahan. Memilih yang lebih comply terhadap syariah.
Karena itu, salah satu bank syariah memilih moto ”murni syariah”. Mungkin maksudnya lebih syariah jika dibandingkan dengan bank-bank syariah lain.