Pilkada, di Antara Legislator dan Pesohor

Rabu 14-08-2024,06:33 WIB
Oleh: Sukarijanto*

Menurut hasil riset Populi Center, pada 2009, persentase kursi selebritas di DPR sebesar 3,2 persen. Jumlahnya turun menjadi 2,8 persen pada Pemilu 2014. Persentase itu kembali menurun menjadi 2,4 persen pada Pemilu 2019. Menurut Syamsuddin dalam jurnalnya, Caleg Artis, So What (Mei 2013), basis kompetisi dalam pemilu legislatif sejak 2009 adalah popularitas figur para caleg yang diajukan partai politik dan kemampuan finansial yang sangat berperan. 

SANDIWARA POLITIK ATAU POLITIK SANDIWARA? 

Sistem politik yang dibalut dengan asas kapitalisme dewasa ini lebih mengandalkan ketenaran dan modal gede ketimbang kapabilitas para calon anggota legislatif sehingga caleg artis dan pesohor memperoleh peluang lebih besar dalam memperoleh dukungan publik. 

Sebaliknya, peran meritokrasi sebagai wadah atau lembaga pengaderan calon anggota legislatif agar terbentuk kader berkualitas kian terpinggirkan. Fenomena caleg artis merupakan salah satu gejala kaderisasi partai yang tergradasi kalau tidak bisa dikatakan gagal. 

Sebaiknya kehadiran parpol dapat memberikan pendidikan politik, kaderisasi, dan seleksi kepemimpinan secara berskala serta demokratis. Pada fase itu, partai politik tidak perlu membutuhkan kehadiran caeg dari kalangan artis.

Pencalonan para selebritas atau pesohor menjadi anggota legislatif realitasnya merupakan cara mudah dan instan sebuah partai politik untuk mendongkrak suara atau kursi di parlemen. Bagi parpol yang punya nafsu besar meraih kursi di DPR dan DPRD untuk bisa lolos syarat ambang batas parlemen, mengusung orang yang punya potensi besar dipilih itu akan lebih baik ketimbang mengangkat kader sendiri meski senior tapi ”tidak layak jual”. 

Faktanya, banyak anggota legislatif yang berasal dari kalangan artis tidak cukup menonjol dari anggota lainnya yang berasal dari nonartis, khususnya dalam mengemukakan gagasannya dan melakukan advokasi di parlemen. Kalangan artis sangat terkesan lebih memainkan peran ”sandiwara politik” ketimbang berperan sebagai wakil rakyat sesungguhnya. 

Jadi, sebetulnya publik dirugikan dengan kehadiran caleg artis. Sebab, kemampuan mereka sebagai politisi atau yang berkaitan dengan legislasi masih ”jauh panggang dari api”. Kemampuan mereka memang sudah teruji di panggung menyanyi, main film, dan melawak. 

Tetapi, di saat yang bersamaan, mereka harus dituntut memiliki kapasitas sebagai seorang politikus atau legislator yang mumpuni memperjuangkan nasib rakyat. Realitasnya yang terjadi, mereka terkesan gagap mengakomodasi pernik-pernik permasalahan ekonomi, sosial, dan kemasyarakatan.

Terdapat beberapa alasan mengapa banyak artis dan pesohor mau nyaleg

Pertama, sangat bisa jadi mereka tertarik dengan isu-isu sosial-politik. Mereka mungkin melihat masuk ke jalur politik sebagai wahana membuat suatu perubahan. Sebagai artis, mereka punya modal kemampuan yang unik untuk bisa menginspirasi, memotivasi, dan memengaruhi orang lain melalui karyanya. 

Selain itu, para selebritas yang punya banyak pengikut di media sosial bisa menggunakan platform yang dimiliki untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang isu-isu penting di samping bisa digunakan untuk mengampanyekan suatu perubahan kepada para pengikutnya. 

Kendati popular di mata masyarakat dan terkenal di kalangan luas, belum tentu ada jaminan artis yang mencalonkan diri itu pasti berhasil. Bahkan, banyak juga yang malah dibanjiri kritik karena kurangnya pengalaman politik dan kepekaan sosial. Atau, cuma dengan bermodal status selebritas, mereka berharap bisa mendapatkan banyak suara. 

Kedua, ada keyakinan mereka mampu membawa perspektif baru dan berbeda di dunia politik. Beberapa dari mereka ada yang cukup tertarik dengan isu-isu di masyarakat seperti keadilan sosial, hak asasi manusia, dan lingkungan. Sebagai orang yang sudah lama berkecimpung di industri kreatif, mereka terbiasa berpikir di luar kebiasaan yang diharapkan mampu menghasilkan solusi inovatif untuk masalah-masalah yang kompleks. 

Ketiga, mereka punya keyakinan untuk melibatkan dan menginspirasi pemilih yang terhubung dengan orang-orang secara personal, sekaligus punya potensi menggugah minat pengikutnya untuk terlibat di dalam politik. Itu terutama berlaku untuk generasi muda umumnya yang memiliki keterlibatan minim dalam dunia politik. Dengan mencalonkan diri, para artis itu bisa membawa energi dan antusiasme baru ke dunia politik. 

Sebaliknya, tantangan parpol dalam mempertahankan eksistensinya di tengah persaingan yang kian ketat tentunya membutuhkan ongkos yang tidak sedikit. Maka, satu-satunya cara praktis dengan hasil instan untuk menghidupi kelangsungan partainya adalah ”memperjualbelikan konsesi politik” (baca: mahar) yang bernilai ratusan juta bahkan miliaran kepada pesohor dan artis yang bermodal gede untuk maju sebagai calon anggota legislatif dari partai. 

Kategori :