Refleksi Program Blue Economy di Hari Kemerdekaan

Kamis 22-08-2024,14:34 WIB
Oleh: Riza Rahman Hakim*

SALAH satu sektor yang menjadi kebanggaan bangsa ini adalah perikanan dan kelautan. Khususnya kebanggaan dari sisi potensinya. Ada predikat negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki pantai terpanjang kedua di dunia, mega biodiversity, produsen akuakultur terbesar kedua di dunia, dan masih banyak lagi. 

Bila merdeka dimaknai sebagai bebas dan berdaulat, bagaimana dengan sektor perikanan dan kelautan? Apakah sektor itu sudah berdaulat dan mampu dikelola dengan baik untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat Indonesia? 

Untuk merefleksikannya, setidaknya bisa dilihat dari program kebijakan ekonomi biru (blue economy) yang diinisiasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

BACA JUGA: Pantai Mutiara Ditarget Masuk Blue Economy

Pertama, perluasan kawasan konservasi laut. Sesuai catatan KKP (2023), kawasan konservasi hingga tahun 2022 mencapai 28,9 juta ha atau hanya 8,7 persen dari total luas perairan Indonesia. Target luas kawasan konservasi pada 2030 diharapkan bisa mencapai 32,5 juta ha (10 persen luas perairan) dan tahun 2045 mencapai 97,5 juta ha (30 persen luas perairan). 

Tujuan adanya kawasan konservasi iru sudah sangat baik. Yaitu, melindungi padang lamun (58 ribu ha), bakau (211 ribu ha), terumbu karang (1,2 juta ha), serta 30 persen zona inti untuk pemijahan ikan. 

Akan tetapi, saat ini terumbu karang di Indonesia dalam kondisi mengkhawatirkan. Pada 2017 LIPI telah merilis laporan dengan judul Status Terumbu Karang Indonesia. Berdasar pengamatan di 1.064 lokasi stasiun yang tersebar di Indonesia bagian timur, tengah, dan barat, telah diketahui statusnya, yaitu 35,15% kondisi buruk; 35,06% kondisi cukup; 23,40% kondisi baik; dan 6,39% kondisi sangat baik.

BACA JUGA: Komitmen Negara Kepulauan, Indonesia Perkenalkan Praktik Blue Economy di KTT AIS Forum 2023

Sementara itu, hutan bakau juga mengalami degradasi yang signifikan. Indonesia dikenal sebagai negara dengan lahan bakau terbesar di dunia, yakni seluas 3,5 juta ha atau mewakili 20 persen dari total lahan bakau di dunia. Sayang, kini terus mengalami degradasi. Berdasar laporan dari salah satu media massa nasional tahun 2018, dinyatakan bahwa hutan bakau Indonesia menghilang 52 ribu ha setiap tahun. 

Kedua, penangkapan ikan terukur berbasis kuota. Dalam kegiatan penangkapan ikan, tetap harus memperhatikan keberlanjutan sumber daya ikan di alam. Sayang, masih banyak dijumpai praktik illegal, unreported, and unregulated fishing (IUU fishing) atau penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur. Data FAO 2019 menyebutkan bahwa IUU menimbulkan kerugian sebesar 26 juta ton per tahun, dengan nilai mencapai USD 23 miliar. 

Tingkat praktik IUU fishing Indonesia di kancah global dapat diukur dengan IUU fishing index, dengan nilai indeks 1–5 (1 adalah paling baik, sedangkan 5 adalah paling buruk). Seperti dilansir dari GoodStats, pada 2021 Indonesia mendapatkan nilai menengah, yaitu 2,55. Nilai itu masih lebih baik bila dibandingkan dengan tahun 2019 yang sebesar 2,71.

BACA JUGA: Gubernur Khofifah Terima Tanda Kehormatan Satyalancana Wira Karya, Jatim Menuju Blue Economy

Meski demikian, nilai Indonesia masih lebih tinggi, dalam arti lebih buruk daripada indeks IUU fishing dunia yang pada 2021 nilainya adalah 2,24. Dalam hal menangani IUU fishing itu, secara global Indonesia masih menduduki peringkat ke-20 dari 152 negara. 

Selain itu, di sektor penangkapan tersebut juga masih ditemui persoalan yang cukup serius. Di antaranya, rantai bisnis yang panjang dan tidak efisien serta proses penangkapan dan penanganan ikan yang buruk. Oleh sebab itu, Indonesia masih perlu berbenah dalam menangani sektor penangkapan ikan ke depan.

Ketiga, pengembangan budi daya laut, pesisir, dan darat secara berkelanjutan. KKP telah menetapkan lima komoditas unggulan berorientasi ekspor. Yakni, udang, lobster, kepiting, rumput laut, dan ikan nila. Sayang, di komoditas tersebut juga masih ditemui banyak persoalan. 

Kategori :