Dalam upaya pemerintah memberikan akses pendidikan bagi mahasiswa kurang mampu, program KIP Kuliah justru memperlihatkan ironi di lapangan. Alih-alih menggunakan bantuan untuk menunjang prestasi, banyak penerima KIP yang sibuk bergaya hidup hedon. Dari ponsel mewah hingga gaya hidup ala sultan, apakah KIP salah sasaran atau justru para mahasiswa ini yang perlu belajar arti sebenarnya dari bantuan pendidikan?
Pada konteks pendidikan tinggi di Indonesia, terdapat beberapa program beasiswa seperti program Beasiswa Bidikmisi atau Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) yang telah menjadi kebijakan pemerintah untuk meningkatkan akses dan kesempatan bagi mahasiswa dari keluarga kurang mampu secara ekonomi supaya mereka dapat menempuh pendidikan di perguruan tinggi.
Program itu merupakan upaya nyata dalam mengurangi kesenjangan pendidikan dan memberikan peluang yang setara bagi semua lapisan masyarakat. Apabila kita lihat data bahwa pada tahun 2023 saja, penerima KIP-K sebanyak 44.928 dengan persentase 23,42%.
Secara Provinsi, Jatim merupakan penerima terbanyak dengan angka 5.624 mahasiswa. Namun, ironisnya dalam tahun terakhir, terdapat perhatian yang meningkat terhadap fenomena tertentu di kalangan mahasiswa penerima KIP-K yang mencerminkan gaya hidup yang hedonistik.
Viralnya kasus influencer sebagai penerima KIP-K di salah satu Universitas di Semarang. Di Malang juga terjadi hal yang sama, penerima KIP-K memiliki handphone boba yang harganya diatas sepuluh juta rupiah dan diberbagai daerah lainnya.
BACA JUGA:LPDP Terima Dana Rp 15 T untuk Beasiswa dan Dana Riset
BACA JUGA:Prabowo Bersama Putin Akan Utamakan Kerjasama Beasiswa Pendidikan dan Pelatihan Medis di Rusia
Case tersebut menjadi tamparan keras bagi Pemerintah bahwa pemberian program ini salah sasaran. Program yang seharusnya diberikan kepada mahasiswa bersahaja untuk menopang biaya kuliah, justru diterima oleh mahasiswa yang bergaya hidup hedon.
Perlu digaris bawahi bahwa perilaku hedon dapat diartikan sebagai pandangan hidup yang mengedepankan kesenangan dan kenikmatan sebagai tujuan utama melalui ukuran materi dan kesenangan duniawi. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki kekuatan mental.
Berbicara tentang lemahnya mental, merujuk laporan dari American Psychological Association juga menemukan bahwa 85% Gen Z lebih cenderung terkena masalah kesehatan mental daripada kelompok demografis lainnya.
Penulis: Wahyu Eko Pujianto Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo *) Azibur Rahman Dosen STAI Al Akbar Surabaya, Ketua Forum Nasional untuk Pembangunan Sosial dan Inovasi.-Dok Pribadi-
Gen Z tumbuh dewasa di era media sosial. Di satu sisi, hal ini memudahkan komunikasi dengan banyak orang, dan mendekatkan yang jauh. Namun, di sisi lain, dampak negatifnya cukup signifikan bagi kesehatan mental mereka.
Sangking bergantungnya pada media sosial, Gen Z sering terpaku pada pembaruan konstan ini di Instagram, Facebook, dan platform lain. Mereka melihat betapa indahnya kehidupan orang lain melalui postingan foto atau video.
Hal tersebut adalah sumber depresi, kecemasan, kebencian diri bagi banyak orang akhir-akhir ini. Media sosial juga membuat Gen Z mengalami overstimulasi. Sebagaimana hasil riset yang dilakukan oleh Kim, et.al (2021) bahwa di dunia nyata Gen Z telah sibuk dengan pekerjaan, tugas dan PR, namun fokus mereka juga terbagi pada media sosial.
Hal itu dapat menghabiskan sebagian besar sumber daya kognitif mereka, tidak menyisakan sedikit pun untuk fokus pada diri sendiri. Akhirnya mereka pola pikir mereka terpengaruh hampir 85% dengan apa yang mereka lihat di media sosial, terutama konten-konten yang menampilkan gaya hidup hedon para kreatornya.
Mengapa bisa terjadi?