Politik Akal Sehat

Selasa 27-08-2024,16:55 WIB
Reporter : Arif Afandi
Editor : Yusuf Ridho

Karena itu, ketika berlangsung pemilihan umum pertama yang demokratis pasca pemerintahan Soeharto, ada momentum baru untuk mambangun fondasi demokrasi baru. Ada harapan partai akan betul-betul menjadi tiang kokohnya. Menjadi bagian penting dari tata kelola politik yang memberikan manfaat kepada negara bangsa.

Saat itu, saya pun punya perkiraan masa depan yang optimistis. Dalam dua kali pemilu setelah 1999, partai politik di Indonesia akan makin berkembang bagus. Menjadi tiang demokrasi yang kokoh dan mandiri. Dengan begitu, bisa menjaga Indonesia dan bahkan menjadikan negeri ini makin digdaya.

Ternyata perkiraan itu berlebihan. Sampai lima kali pemilu setelah reformasi, mimpi itu ternyata belum terwujud. Parpol kita masih terus mencari jati diri. Belum menggambarkan mimpi dari para pemilihnya. Belum bisa menjadi tiang demokrasi yang kokoh. Masih sekadar jadi instrumentalistis. Belum menjadi pokok.

BACA JUGA: Penunggang Gajah, Agama, dan Politik

BACA JUGA: Pesan Politik NU

Katika partai politik belum memenuhi aspirasi sepenuhnya rakyat, biasanya kekuatan lain yang muncul. Pers, kekuatan sipil, dan akal sehat. Ketiganya akan menjadi penyeimbang agar kekuasaan tidak sampai absolut sehingga menjadi cenderung korup. Reformasi politik terdahulu, tiga kekuatan itulah yang menjadi pilarnya.

Namun, masihkah tiga kekuatan di luar partai itu bisa tumbuh di lingkungan kita? Nyatanya masih. Batalnya DPR RI mengesahkan RUU Pilkada yang bisa menganulir putusan Mahkamah Konsitusi adalah menjadi bukti dari sisa tiga pilar nonpartai tersebut dalam dinamika demokrasi politik kita.

Setelah gerakan unjuk rasa serentak di berbagai daerah tersebut, saya mencermati media sosial. Yang telah menggeser kekuatan media massa di era digital ini. Diskursus politik di medsos menjadi sangat beragam. Banyak influencer yang berusaha menyampaikan disinformasi atas gerakan tersebut.

Namun, rupanya gerakan disinformasi –yang umumnya menggunakan akun anonim– tak mempan membendung gerakan penyeimbang kekuasaan. Jumlahnya kalah dengan influencer yang mengedepankan akal sehat. Yang menginginkan demokrasi politik di Indonesia tetap menjadi pilihan dalam sistem tata kelola negara.

Tentu agak beda antara diskursus di medsos dengan di media massa. Media sosial menjadikan setiap orang bisa menjadi narasumber sekaligus penyebar informasi. Mereka tanpa ada ikatan kode etik seperti media massa. Dengan begitu, sering kali diskursus di medsos terkesan brutal. Saling ejek dan saling merendahkan.

Kode etik jurnalistik punya tata nilai yang mengikat kerja para penyebar berita. Mereka tidak hanya bekerja dalam koridor nilai-nilai berita, tapi juga mempertimbangkan kelayakan untuk dimuat dan disebarkan atau tidak. Karena itu, di media massa dikenal ada pertimbangan news value dan kelayakan. Koridor yang terakhir adalah akal sehat dan wisdom.

Ketika kita sedang menuju ke masa transisi demokrasi, politik ada baiknya juga tidak hanya mengedepankan petimbangan menang kalah. Tak hanya memperebutkan kekuasaan, bahkan dengan segala cara. Tampaknya perlu juga wisdom yang bertumpu pada akal sehat. Mengakomodasi berbagai kepentingan yang berujung kepada kedigdayaan negara.

Politik akal sehat perlu menjadi pegangan semua aktor bangsa. Demokrasi adalah jalan. Tapi, bukan demokrasi yang formalistis, melainkan demokrasi yang substantif. Yang memberikan ruang kepada berbagai elemen untuk ikut ambil bagian dalam mengurus bangsa. 

Rasanya ini bukan utopia! (*)

 

Kategori :