Penunggang Gajah, Agama, dan Politik

Penunggang Gajah, Agama, dan Politik

Ilustrasi penunggang gajah, agama. dan politik--

BEBERAPA tahun terakhir ini ada sesuatu yang berbeda dalam situasi kebangsaan kita. Terasa ada garis demarkasi yang membelah masyarakat menjadi dua dan menjadikan bangsa ini a divided nation, ’bangsa yang terbelah’. 

Isu apa pun yang muncul hampir selalu membelah opini bangsa ini menjadi dua kubu yang berhadap-hadapan secara diametral. Satu kadrun, lainnya cebong.

Berbagai isu, mulai penetapan hari raya sampai pemilihan calon presiden, selalu membelah masyarakat menjadi dua. Polarisasi yang sengit dan tajam itu membuat diskusi isu publik menjadi tidak sehat. 

Orang tidak peduli soal kesahihan argumen atau penjelasan yang lebih rasional. Orang lebih suka memakai argumen ”pokok”, pokoknya saya yang benar.

Perdebatan bisa menukik tajam ke ranah SARA (suku, agama, ras, antargolongan). Pembahasan pun menjadi sangat kental bernuansa moral dan agama

Setiap pihak merasa telah memberikan argumen yang kuat dan tak bisa dibantah. Setiap pihak menuduh pihak lain ”bodoh”, ”sesat pikir”, dan ”dungu”.

Pada dasarnya, manusia adalah orang-orang yang baik. Tapi, mengapa kemudian orang-orang yang baik itu mudah terbelah akibat pilihan politik atau agama? 

Jonathan David Haidt, ahli psikologi moral dari Amerika Serikat, mencoba menjelaskan fenomena itu. Dalam buku The Rightuos Mind: Why Good People Are Divided by Politics and Religion (2012), ia meneliti mengapa orang-orang baik bisa saling terpisah karena pilihan politik dan isu agama.

Pembelahan itu terjadi karena adanya perbedaan standar moral dan standar rasional di pihak masing-masing. Haidt memberikan ilustrasi seorang pria yang sedang menunggang gajah. 

Intuisi moral digambarkan sebagai gajah dan nalar logika digambarkan sebagai penunggang gajah. Orang akan mengira bahwa penunggang gajah akan bisa mengendalikan tunggangannya. Kenyataannya terbalik, penunggang gajah sebenarnya melayani kebutuhan sang gajah. Artinya, penilaian rasional akan selalu kalah oleh penilaian moral yang subjektif.

Selama berpuluh tahun psikologi moral didominasi pandangan bahwa manusia pada dasarnya rasional. Dengan demikian, penilaian moralnya juga kurang lebih rasional. 

Haidt memaparkan argumen dan bukti bahwa pandangan itu tidak tepat, tidak sesuai dengan fitrah manusia.

Haidt memperkenalkan moral foundations theory (MFT) untuk memahami fenomena keterbelahan politik seperti yang terjadi di Indonesia. Kita bisa melihat bagaimana publik memberikan penilaian moral terhadap Ganjar Pranowo yang mengaku suka menonton film biru.

Evaluasi moral lebih mirip dengan penilaian estetis ketimbang penalaran berbasis rasio. Kalaupun ada proses penalaran, hal itu lebih dipicu oleh tuntutan sosial untuk memberikan penjelasan dan justifikasi. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: