Penunggang Gajah, Agama, dan Politik

Penunggang Gajah, Agama, dan Politik

Ilustrasi penunggang gajah, agama. dan politik--

Penalaran moral itu dilakukan lebih karena alasan strategis sosial ketimbang untuk menemukan kebenaran argumen.

Lihatlah laman media sosial pendukung Anies dan Ganjar, lalu amati ”diskusi” yang berkembang di sana. Argumentasi yang muncul tidak didasari oleh penalaran untuk mencari kebenaran, tetapi hanya untuk mencari pembenaran bagi pandangan kubu sendiri. 

Tak heran, sesat pikir logika bertebaran dalam argumentasi semacam itu. Setiap kubu tidak mencari kebenaran, tetapi pembenaran. Orang lebih senang mendengarkan argumen yang sesuai dengan pandangannya. 

Itulah efek echo chamber, ruang yang menggaung’, yang diberikan media sosial. Media sosial sering disebut sebagai penyebab polarisasi. Padahal, sebenarnya media sosial hanya menjadi amplifikasi dari polarisasi yang sudah ada di tengah masyarakat.

Apa yang membuat sebagian orang menjadi cebong dan sebagian lain menjadi kampret? Menurut Haidt, itu karena tiap orang punya fondasi moral yang berbeda. 

Fondasi moral tersebut adalah intuisi, bukan rasio. Tiap orang punya intuisi yang berbeda. Ada yang intuisinya lebih cocok dengan Anies Baswedan, ada yang lebih cocok dengan Ganjar Pranowo, ada yang lebih sreg dengan Prabowo Subianto. 

Kelompok ”kadrun” mendasarkan standar moralnya kepada agama, sedangkan kelompok ”cebong” mendasarkan standar moralnya kepada liberalisme dan kebebasan individual. Dua hal itu seperti minyak dan air yang tidak bisa dipersatukan.

Moralitas mengikat manusia ke dalam kelompok-kelompok yang dapat bekerja sama secara efektif. Dengan kesamaan nilai moral, manusia lebih mudah saling membantu, lebih mudah mengidentifikasi siapa yang bisa dipercaya, dan dengan demikian lebih layak untuk dimasukkan ke kelompoknya. 

Haidt berpendapat bahwa tidak mungkin mengubah kubu atau mengubah pandangan seseorang, apalagi pandangan moral, hanya dengan argumentasi logis atau data. Kita harus menyentuh intuisi yang lain, kita harus berupaya menggerakkan sang gajah. 

Hal tersebut butuh waktu yang lebih lama. Namun, kemungkinan berhasilnya juga lebih besar. Untuk itu, hal penting yang diperlukan adalah empati. Kita perlu selalu mencoba mencari dan menemukan persamaan ketimbang menonjolkan perbedaan.

Manusia secara naluriah lebih suka membentuk kelompok yang membuat nyaman karena ada kesamaan. Naluri itu tak bisa dihindari atau dipadamkan sama sekali. Namun, kita bisa memperluas batas kelompok, memperbesar cakupan kelompok. 

Awalnya, secara alami manusia hanya peduli kepada kerabat terdekat. Namun, kita kemudian bisa peduli kepada rekan sekampung atau kelompok etnis atau kelompok agama atau kelompok hobi dan olahraga. 

Idealnya, kita terus meluaskan empati kepada kelompok yang makin besar, yang mencakup makin beragam anggota, seperti kelompok kebangsaan, lalu kelompok kemanusiaan. 

Mungkin ini terasa sebagai angan-angan yang jauh. Mungkin ini lebih mirip khayalan, seperti yang disenandungkan John Lenon dalam lagu Imagine. (*)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: