Politik Akal Sehat

Selasa 27-08-2024,16:55 WIB
Reporter : Arif Afandi
Editor : Yusuf Ridho

SKENARIO itu tampaknya kurang berjalan mulus. Tadinya, untuk menopang pemerintahan baru mendatang, sejumlah daerah akan diambil habis oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus partai baru yang bergabung. 

Memang, jika sejumlah daerah strategis dimenangkan dalam pemilihan kepala daerah serentak tahun ini, jalannya pemerintahan ke depan lebih terjamin. Terutama dalam menyelaraskan program pusat dengan daerah.

Karena itu, secara hitung-hitungan politik, apa yang dirancang koalisi parpol yang berhasil memenangkan pilpres sudah benar. Secara politik, apa yang mereka lakukan juga sah. Tak ada yang dilanggar jika dilihat dari prinsip the winner takes all, ’pemenang memborong semua’.

BACA JUGA: Tamsil Kisah Adam, Politik Dinasti, dan Etika Berkontestasi

BACA JUGA: Politik Uang

Karena itu, wajar saja skenario parpol atau presiden terpilih untuk menguasai semua kepala daerah. Pun, wajar saja kalau untuk itu dilakukan dengan membangun koalisi gemuk, baik di pusat maupun daerah. Koalisi yang memungkinkan munculnya calon tunggal di beberapa provinsi dan kota strategis.

Bahwa untuk menuju ke sana ada perlawanan, itu juga wajar dan sah. Sebab, politik pada dasarnya adalah kompetisi untuk berkuasa. Baik berkuasa di pusat maupun daerah. Untuk berkuasa itu, ada instrumen yang juga disebut pilar demokrasi, yakni partai politik. 

Dalam konteks demokrasi politik, perlawanan adalah perwujudan atau ejawantah dari prinsip check and balance. Prinsip kontrol terhadap jalannya kekuasaan. Mengapa perlu kontrol? Sebab, dalam politik ada adagium: power tend to corrupt, absolute power corrupt absulutely

BACA JUGA: Yatim Politik

BACA JUGA: Kutukan Politik di Sidoarjo

Jadi, politik itu selalu soal perebutan kekuasaan. Namun, kekuasaan itu punya naluri untuk korupsi. Makin absolut sebuah kekuasaan, akan makin absolut juga kecenderungan untuk menyimpang. Dalam konteks itulah, sistem demokrasi mensyaratkan adanya kontrol dan kekuatan penyeimbang.

Karena itu, kenapa pemerintahan Orde Baru yang telah berkuasa di Indonesia selama 32 tahun bisa runtuh pada 1998? Dalam perspektif tersebut, bisa dimaknai sebagai lahirnya keseimbangan baru. Bahwa, negeri ini tak boleh dihegemoni oleh sebuah kekuatan yang terlalu kuat dan berlangsung lama.

Partai politik tak berdaya. Semuanya dalam kendali Presiden Soeharto. Dengan Golkar sebagai pengendali utamanya. Juga, ABRI (kini TNI) menjadi kekuatan strategis yang menjadi alat kekuasaan. Partai politik pada saat itu hanya ”hiasan” demokrasi. Bukan pilar demokrasi yang bisa berfungsi sebagai alat agregasi kepentingan rakyat secara keseluruhan.

BACA JUGA: Aroma Barter Politik Khofifah

BACA JUGA: Dilema Kebijakan Pemda Jelang Tahun Politik

Kategori :