HARIAN DISWAY - Ekonomi Indonesia tengah dihadapkan pada tantangan dengan munculnya tren deflasi, dimana harga barang dan jasa secara umum terus menurun.
Kondisi ini membuat konsumen menunda pembelian, dengan harapan harga akan semakin turun di kemudian hari.
BACA JUGA:BPS Mencatat Indonesia Alami Deflasi 4 Bulan Berturut-turut
Sejak Mei lalu, Indonesia sudah mengalami deflasi selama empat bulan berturut turut. Melansir dari Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat deflasi di Indonesia sudah mencapai level 0.03 persen pada bulan Agustus 2024.
Fenomena deflasi beruntun ini ternyata tidak hanya dialami oleh Indonesia saja. Diketahui, Negara negara lain di Asia seperti Singapura, Thailand juga mengalami hal serupa.
Adanya tren deflasi bisa memperburuk keadaan, menyebabkan penumpukan stok dan memaksa para pelaku usaha memberikan diskon besar-besaran.
Jika tidak segera diatasi, deflasi dapat memicu peningkatan angka pengangguran serta memperlambat laju pertumbuhan ekonomi.
BACA JUGA:World Bank Temui Presiden di Istana: Apresiasi Pertumbuhan Ekonomi dan Rendahnya Inflasi
“Fenomena deflasi ini lebih ditunjukkan dari sisi supply (pasokan), yang artinya masih terjadi penawaran,” Jelas Pudji Ismartini deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS dilansir dari disway.id
Ketika pasokan barang menumpuk dan tidak terserap pasar, produsen dan pengecer mau tak mau harus menurunkan harga demi menjual produk mereka.
Penurunan harga yang drastis inilah yang sering memicu deflasi berkepanjangan, di mana harga terus menerus merosot.
Menurut Pudji, deflasi ini kemungkinan besar disebabkan oleh stok bahan pangan yang melimpah ruah, dengan komoditas cabai rawit yang menjadi penyumbang deflasi sebesar 0,52 persen dan kopi bubuk serta perhiasan sebesar 0,02 persen.
BACA JUGA:Signifikan, Arus Peti Kemas TPS Naik 10,82 Persen Hingga Agustus 2024
Meski terlihat menguntungkan bagi konsumen karena mereka bisa membeli barang dengan harga lebih murah, dampak deflasi terhadap perekonomian sangat signifikan.
Pelaku usaha mengalami penurunan pendapatan karena harus menjual produk dengan harga diskon besar, yang pada akhirnya menggerus keuntungan dan memicu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).