Akrobatik Politik dan Politik Kebangsaan

Selasa 10-09-2024,10:35 WIB
Oleh: Muhammad Turhan Yani*

Sementara itu, politik kekuasaan berorientasi pada ketercapaian suatu jabatan politik dengan langsung terjun dalam politik praktis melalui saluran-saluran yang tersedia seperti partai politik dan jalur lain berdasar peraturan perundang-undangan. 

Dalam realitasnya, politik kekuasaan sering mengalami gesekan-gesekan sosial, baik antarelite politik maupun antarmassa pendukung parpol. Itu mengakibatkan persatuan dan kesatuan mengalami distorsi seperti piring-piring bekas makanan yang berserakan setelah selesai suatu acara. 

Gesekan-gesekan sosial tersebut terjadi karena ada sebagian pihak yang mencederai demokrasi dan melanggar konstitusi.

Peristiwa politik pada Pemilu 2024 yang diwarnai kerikil-kerikil dan sandungan bagi demokrasi yang mengakibatkan terjadi entakan massa akibat ulah sebagian elite politik yang berada di kekuasaan dan parlemen memberikan pelajaran berharga betapa penting perpolitikan yang dilandasi etika atau etika berpolitik.

Oleh karena itu, berbagai gerakan dan seruan moral tidak henti-hentinya didengungkan berbagai tokoh dan civil society seperti sirene yang terus berbunyi karena ada peristiwa darurat dalam perpolitikan.  

Sirene pada perjalanan Pemilu 2024 yang berdengung terus menandakan bahwa ada suatu peristiwa yang memerlukan penanganan serius karena telah terjadi kegaduhan politik bagaikan mobil pemadam yang membunyikan sirene untuk menangani bahaya dari kebakaran dan bencana alam.

Sirene yang terus disuarakan berbagai tokoh bangsa dan kalangan civil society menjadi bagian dari tanggung jawab moral dalam menjalankan politik kebangsaan. Sebagian elite parpol mendengar sirene itu dan segera menyadari untuk mematuhi. Sebagian hanya mendengar, tapi tidak mematuhi.

Ketika ada sebagian kelompok yang tidak mematuhi suara sirene moral yang terus didengungkan, yang terjadi adalah perlawanan melalui aksi massa dari berbagai elemen masyarakat untuk melakukan penyadaran politik. 

Walhasil, dengan cara-cara seperti itu, akhirnya situasi kembali ke titik pusar politik berdasar putusan MK. Walaupun, dalam pilpres lalu sempat terjadi noda dalam demokrasi terkait putusan MK yang mengubah syarat usia calon. 

Pun, perjalanan politik seperti itu menjadi catatan sejarah yang kurang baik dalam konteks demokrasi Pancasila. Semoga menjadi ibrah (pelajaran penting) pada masa berikutnya untuk tidak terulang. (*)

*)  Muhammad Turhan Yani adalah guru besar Fisipol, kepala LPPM Universitas Negeri Surabaya, dan ketua Komisi Pendidikan MUI Provinsi Jawa Timur

 

 

Kategori :