SEPERTINYA, tak ada ajaran apapun di dunia ini yang mengajarkan manusia untuk hanya bernafsi-nafsi: mementingkan dirinya sendiri. Semuanya meminta kita untuk mengingat sesama.
Sang Buddha, misalnya, menuntun kita untuk melakukan sebanyak mungkin hal yang bermanfaat untuk orang lain (atthacariya). Sebab, ajaran Hindu mengingatkan kita bahwa "tat tvam asi" (ia adalah engkau). Makanya, Islam menyebut, "Khoirunnaas anfa'uhum linnaas" (sebaik-baiknya manusia ialah yang membawa manfaat bagi manusia).
BACA JUGA:Cheng Yu Pilihan Dokter Spesialis Ortopedi di RSUD Pasuruan dr Fiski Purantoro: Chi Ku Nai Lao
Barangkali itulah mengapa Budi Endarto yang rektor Universitas Wijaya Putra, Surabaya, selalu mewanti-wanti dirinya untuk menjadi orang yang "memberikan manfaat kepada masyarakat." Adapun caranya, yaitu seperti dipetuahkan pepatah klasik Tiongkok, "博施济众" (bó shī jì zhòng): menabur bantuan dan manfaat kepada sebanyak mungkin orang.
Namun, berbuat sesuatu yang bermanfaat untuk yang lain belum tentu akan berbanding lurus dengan penilaian masyarakat terhadap kita. Maklum, di dunia yang hampir segalanya dijadikan konten untuk dipamerkan ini, menjadikan orang makin waspada dan curiga akan niat atau motivasi di balik kebaikan kita. Pasalnya, antara yang tulus dengan yang pamrih, seakan hampir sudah tak ada bedanya.
BACA JUGA:Cheng Yu Pilihan Dokter Spesialis Bedah Mulut RSI Surabaya Bagus Teguh Utomo: Yong Wang Zhi Qian
Tak masalah. Berbuat baik memang membutuhkan komitmen untuk tahan banting dalam situasi dan kondisi bagaimanapun. Toh, sebagaimana diwejangkan filsuf agung Mencius, "Tuhan kalau akan memberikan kemuliaan kepada seseorang, pasti akan terlebih dahulu membuatnya menderita, membuatnya lelah, membuatnya lapar, membuatnya kurus kering, membuat yang telah dikerjakannya berantakan" (天将降大任于斯人也,必先苦其心志,劳其筋骨,饿其体肤,空乏其身,行拂乱其所为 Tiān jiāng jiàng dà rèn yú sī rén yě, bì xiān kǔ qí xīn zhì, láo qí jīn gǔ, è qí tǐ fū, kōng fá qí shēn, xíng fú luàn qí suǒ wéi). (*)