Menyambut Pemerintahan Baru Prabowo-Gibran (1): Politik: Arisan dan Takdir

Selasa 01-10-2024,14:26 WIB
Oleh: Muhammad Turhan Yani*

Diserahkan kepada hak prerogatif presiden walaupun tampaknya berat karena empat orang tersebut menempatkan posisi yang berbeda dengan Prabowo-Gibran. 

Meski begitu, dalam politik, semuanya bisa berubah sekejap. Suatu saat berada dalam posisi gerbong politik yang sama. Sebaliknya, suatu saat juga bisa berada pada gerbong berbeda. 

Pasalnya, politik bersifat cair dan dinamis. Contohnya, saat pilkada Jakarta, sebagian mantan paslon capres-cawapres sudah menunjukkan posisi politik yang berbeda. 

Misalnya, Anies dan Muhaimin tidak lagi dalam satu barisan politik walaupun Anies berpeluang diusung dalam pilkada Jakarta. PKB pimpinan Muhaimin Iskandar tidak mengusung/tidak mendukung Anies.

Dari sisi peluang dan persahabatan, mengikuti kontestasi politik dalam lini apa pun –seperti pemilihan kepala desa, pemilihan bupati/wali kota, pemilihan rektor, pemilihan gubernur, dan pilpres– bagaikan seseorang yang mengikuti arisan. 

Yang mengikuti arisan penting dipahami sebagai sahabat semua walaupun berkompetisi. Dapat pula dikatakan kompetisi dalam persahabatan. 

Siapa pun yang tercantum dalam peserta arisan, namanya berpeluang keluar sebagai pemenang. 

Sekiranya untuk arisan kali ini namanya belum keluar menjadi pemenang, dimungkinkan akan mendapatkan arisan pada kesempatan berikutnya selama namanya masih terdaftar sebagai peserta arisan, dalam hal ini sebagai peserta kontestasi. 

Ketika nama seseorang keluar sebagai pemenang arisan atau mendapatkan kekuasaan setelah mengikuti proses dan mekanisme yang telah ditetapkan, secara agama diyakini itu adalah takdir (ketentuan) yang telah dikehendaki Tuhan kepada yang bersangkutan. 

Sebab, semuanya –termasuk kekuasaan itu– berada dalam genggaman-Nya. Siapa pun yang dikehendaki atas kekuasaan itu, semua pihak harus menerima dengan legawa. Mereka tetap sahabat dalam kompetisi.

Apabila telah dihasilkan seorang pemimpin setelah melalui proses dan mekanisme yang berlaku, pemimpin tersebut telah ditakdirkan oleh Tuhan. 

Dalam menyikapi takdir, yang ditakdirkan diberi kekuasaan wajib menjadikan kekuasaan itu sebagai sebuah amanah atau kepercayaan yang akan dipertanggungjawabkan. 

Di sisi lain, yang belum ditakdirkan mendapat kekuasaan meyakini bahwa itu juga takdir Tuhan atas dirinya yang memang untuk kali ini belum diberi kesempatan, sambil meyakini bahwa Tuhan memiliki rencana lain atas dirinya.

Dalam doktrin agama ditegaskan bahwa Tuhan yang memiliki otoritas atas kekuasaan yang diamanahkan kepada hamba-Nya seperti yang termaktub dalam Al-Qur’an surah Ali Imran ayat 26 sebagai berikut ini:

Qulillāhumma mālikal-mulki tu`til-mulka man tasyā`u wa tanzi'ul-mulka mim man tasyā`u wa tu'izzu man tasyā`u wa tużillu man tasyā`, biyadikal-khaīr, innaka 'alā kulli syai`ing qadīr”. 

”Katakanlah (Nabi Muhammad), ’Wahai Allah, pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu’.” 

Kategori :