SAAT kampanye pada pemilihan presiden (pilpres), setiap petinggi partai politik (parpol) yang berbeda koalisi dalam mengusung calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) seakan-akan menjadi rivalitas.
Padahal, setelah pilpres selesai dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan secara resmi presiden dan wapres terpilih, situasi akan berubah.
Sebagian petinggi parpol –yang awalnya berada pada gerbong koalisi yang berbeda– bergabung dengan presiden terpilih. Namun, ada sebagian yang tetap berada pada posisi semula, tidak bergabung.
Hal itu seperti Pilpres 2019. Saat itu Prabowo Subianto sebagai ketua umum Partai Gerindra –sekaligus capres yang kalah dalam pilpres– merapat dan bergabung dalam pemerintahan Joko Widodo yang menang pilpres.
BACA JUGA: Tak Lagi Pakai Keputusan KPU, Pelantikan Prabowo-Gibran Bakal Gunakan Ketetapan MPR
BACA JUGA: Jokowi Dukung Kabinet Zaken Pemerintahan Prabowo-Gibran
Sebagai manusia biasa, Prabowo yang kalah dalam pilpres saat itu merasa kecewa karena menurutnya ada kecurangan dalam proses pilpres. Meski demikian, kekecewaan itu tidak lama karena Prabowo mendapat tawaran untuk bergabung dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Dengan pertimbangan yang matang dan demi kepentingan bangsa, akhirnya Prabowo Subianto memutuskan menerima tawaran masuk kabinet pemerintahan dan menjadi menteri pertahanan (menhan).
Petinggi parpol atau capres yang kalah dalam kontestasi politik –yang kemudian bergabung kepada presiden terpilih, baik secara langsung maupun tidak langsung– biasanya mendapat cibiran dari relawan dan para pemilihnya yang militan.
Itu dibarengi dengan sikap kecewa, bahkan marah, kepada petinggi parpol pengusung capres-cawapres yang kalah.
BACA JUGA: Respons Gus Ipul soal Peluang Jadi Mensos Lagi di Era Prabowo-Gibran
BACA JUGA: Jumlah Kementerian di Era Prabowo-Gibran Tak Akan Dibatasi
Mereka biasanya juga mengutarakan, ”Ternyata petinggi parpol yang selama ini berjuang untuk kemenangan pilpres yang diusung tidak ingin berada di luar kekuasaan.”
Sebagian relawan dan pemilih fanatiknya merespons dengan suatu ungkapan: kalau akhirnya begini, tidak perlu ada pemilu. Sebab, pemilu menghamburkan uang rakyat.
Oleh karena itu, buat saja kesepakatan antarelite parpol, siapa yang jadi capres-cawapres. Tidak perlu berjibaku dengan keringat dan kampanye yang melelahkan.