BACA JUGA: Pentas Keliling Teater Kusuma Ramaikan Sabtu Malam di Mojokerto
Dari tempat itu, cerita yang dibumbui komedi berlangsung. Juga, ditunggui hantu seorang perempuan cantik.
Seorang veteran masih sering mengunjungi Jembatan Merah. Ia terus mengenang perang yang dialaminya saat mempertahankan jembatan tersebut. Baginya, kenangan itu sangat berarti karena jika jembatan tersebut jatuh ke tangan musuh, akan jatuh pula kota itu.
Bagi veteran dan hantu yang digambarkan sebagai Raja Jawa, jembatan merah menjadi tempat kehidupannya setelah mati. Tapi, bagi gelandangan, preman, dan penjual jamu, jembatan itu menjadi pelindung bagi orang-orang kalah. Juga, bagi anak-anak muda yang mempunyai mimpi besar.
Cerita Si Manis Jembatan Merah menjadi sangat hidup dengan kehadiran Cak Lontong dan Akbar. Dua komedian asal Surabaya itu mengajak tawa penonton dengan logika-logika terbalik yang biasa mereka mainkan dalam pementasan mereka di berbagai acara.
Apalagi, ditambah dengan penampilan Abdel Wisben. Saya baru tahu komedian itu bisa menghayati main teater populer. Ia seperti langsung tune in dalam kelompok para seniman teater lainnya. Sungguh, Indonesia Kita menjadi tontonan teater yang menyegarkan di tengah kegelisahan dinamika politik belakangan ini.
Ia bisa mengemas kritik-kritik sosial kekinian menjadi sebuah tontonan yang menghibur. Menyampaikan satire atas realitas sosial secara komedi. Mengajak penonton merenungkan apa yang sedang terjadi sekaligus mentertawakannya. Cara itu adalah cara jitu ketika cara lain menemui jalan buntu.
Tapi, bisakah teater populer seperti Indonesia Kita ini akan terus berkembang ke depan? Akankah ekosistem politik kebudayaan kita mendukung lahirnya seniman-seniman baru yang masih tertarik mementaskan teater populer seperti ini?
Meski dalam pementasan dua hari dipenuhi dengan penonton, mementaskan jenis teater yang digagas Butet dan almarhum adiknya, Djaduk Ferianto, ini tak mungkin bisa pentas jika hanya mengandalkan penjualaan tiket. ”Belum masuk kalau tanpa sponsor,” kata Butet.
Itu pun, lanjut ia, tontonan seperti ini bisa berlangsung jika menggunakan pendekatan kebudayaan. Belum bisa jika harus memakai pendekatan industri. ”Kami tidak mungkin membayar Cak Lontong, Ine Febrianti, dan artis-artis lainnya kalau pakai standar industri,” ungkapnya.
Sayang, makin sedikit seniman yang berkomitmen untuk membangun dunia kebudayaan seperti ini. Apalagi di teater. Saya belum menemukan generasi baru setelah Butet ini yang berkomitmen untuk berkesenian sekaligus berkebudayaan.
Atau, mungkin bentuk-bentuk pementasan teatrikal seperti Indonesia Kita ini akan diadopsi melalui media lain? Misalnya, memfilmkan teater musikal komedi? Bukankah sudah banyak contoh film berbasis teater diproduksi di Barat?
Saya belum bisa melihat masa depan teater kita. Yang bisa kita prediksi makin maju dan sejahtera suatu bangsa, tingkat kebutuhan masyarakatnya akan makin berkembang. Mereka tak hanya butuh kepuasan yang bersifat materialistis. Tapi, juga kebutuhan spiritual dan batiniah.
Karena itu, kita tetap butuh inisiatif berketerusan dari komunitas kesenian kita. Yang bisa terus mengisi relung jiwa kita. Bukan hanya sibuk untuk memikirkan isi perut kita. Apalagi, terlena dengan kecenderungan akan keserakahan umat manusia.
Indonesia Kita adalah kita. Semoga mereka terus masih punya sisa energi untuk bisa memproduksi karya-karya berikutnya. (*)