DI LUAR kritik-kritik sosialnya, Butet Kartaredjasa tak hanya seorang seniman biasa. Ia telah membawa tradisi baru teater di Indonesia.
Itu bisa dilihat dari pementasan Indonesia Kita. Yang kali ini telah pentas ke-42. Berlangsung di Teater Besar Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Pementasan teater modern berbasis tradisi itu terakhir mengambil tajuk Si Manis Jembatan Merah. Repertoar yang digarap Agus Noor, penulis berbakat asal Yogyakarta.
BACA JUGA: Martcapada, Imajinasi Teatrikal Teater Kusuma dalam Dies Natalies Untag ke-35
BACA JUGA: Panggung Eunoia: Teater Realisme dan Komedi Karya Mahasiswa UNESA
Seperti biasanya, Indonesia Kita melibatkan sejumlah artis dan komedian terkenal. Misalnya, Cak Lontong, Akbar Kobar, Abdel Wisben, Sha Ine Febrianti, dan Inayah Wahid. Juga, Marwoto dan Susilo.
Bagi yang sudah pernah menonton pertunjukan Teater Gandrik, Indonesia Kita adalah Gandrik dengan kemasan baru. Menggunakan model sampakan dengan alur cerita yang sederhana.
Tidak perlu mengerutkan dahi dalam-dalam untuk bisa menikmati repertoar Indonesia Kita. Bahkan, sepanjang pertunjukan selama tiga jam, perut kita dikocok dengan komedi sarkatis tanpa henti.
Pertunjukan teater yang mengusung Orkes Sinten Remen sebagai pengisi musiknya itu memang bukan jenis teater modern yang serius. Seperti pementasan teater dengan naskah cerita yang memerlukan perenungan.
BACA JUGA: Protes Teater Api Indonesia lewat Lakon Dinasti Bulldog; Meruntuhkan yang Bar-Bar
Dalam Si Manis Jembatan Merah, dikisahkan kegelisahan kenapa republik ini sepertinya makin jauh dari cita-cita luhur kemerdekaan. Karena itu, mengingat dan mengenang semangat perjuangan zaman kemerdekaan menjadi sangat penting.
Jembatan merah menjadi setting cerita yang ditampilkan para seniman dari berbagai latar belakang itu. Dalam sejarah kemerdekaan, Jembatan Merah –lokasinya di Surabaya– menjadi saksi sejarah perlawanan rakyat terhadap tentara sekutu yang ingin menjajah kembali Indonesia.
Dalam repertoar Indonesia Kita yang ke-42, Jembatan Merah menjadi tempat seorang hantu yang digambarkan sebagai seorang Raja Jawa. Hantu itulah yang selalu ”mengganggu” kehidupan manusia.