Protes Teater Api Indonesia lewat Lakon Dinasti Bulldog; Meruntuhkan yang Bar-Bar

Protes Teater Api Indonesia lewat Lakon Dinasti Bulldog; Meruntuhkan yang Bar-Bar

Slamet Gaprax membuka adegan pementasan Dinasti Bulldog dengan mengelilingi tiga seng, properti khas Teater Api Indonesia. -Julian Romadhon/HARIAN DISWAY-

HARIAN DISWAY - Teater Api Indonesia mementaskan naskah Dinasti Bulldog. Kritik fenomena sosial atau isu politik dinasti saat inikah? Sejauh mana simbol-simbol yang diusung mampu merepresentasikan kritikan? 

Pentas di Geoks Art Space, Gianyar, Bali, pada 30 November 2023 dan di Gedung Cak Durasim pada 22 November 2023 lalu, Dinasti Bulldog mengusik siapa saja. Semesta simbol yang dihadirkan meninggalkan beberapa pertanyaan sekaligus perenungan.

Usikan itu dimulai sejak sutradara Luhur Kayungga memilih kata "bulldog". Jenis anjing peliharaan yang berkarakter khusus. Lalu kata "dinasti". Mengapa "dinasti" dikaitkan dengan "bulldog"? Tentu saja ini menggelitik.

BACA JUGA: Sepotong Pagi; Pieces of Life, Film Teater Satir tentang Dunia Pernikahan yang Berbalut Pencitraan

Anda sudah tahu bahwa bulldog merupakan ras anjing Eropa yang ramah dan pandai bergaul. Di satu sisi, bulldog adalah anjing pemberani. Ia dikenal sebagai anjing penjaga yang sempurna. “Bulldog tak mudah dilatih. Tapi jika ia sudah memahami sesuatu maka itu akan diingatnya terus,” kata Luhur. 

Bulldog adalah anjing setia. Apalagi jika dilatih sejak kecil. Dalam pementasan Dinasti Bulldog karya Teater Api, hewan itu digambarkan sebagai penjaga setia. Tak peduli apakah tuannya itu orang baik atau buruk. 

Ditambahkan pimpinan produksi Endang Pergiwati, pemegang kekuasaan yang lalim itu adalah bulldog. “Bulldog yang tak peduli dan lebih mementingkan kepuasannya semata,” katanya.
Aktor Naryo Pamenang mengacungkan sapu lidi sebagai tanda pembersihan pada hal-hal yang negatif dalam pentas Dinasti Bulldog oleh Teater Api Indonesia. -Julian Romadhon/HARIAN DISWAY-

Anjing-anjing dimainkan para aktor dengan bertelanjang dada dan bersarung. Pentas dimainkan oleh M Sholeh, Slamet Gaprax, Wiji Utomo, Dedi Obenk, Estercita, Naryo Pemenang, dan Ridho. 

Didukung Mahamuni Paksi sebagai penata musik, tata panggung oleh Masbro Dayat, tata lampu oleh Supriono, artistik oleh Akhmad Mansur, dan dokumentasi oleh Taufiq Sholekhuddin.

Gaprax membuka pertunjukan. Ia meraung, melolong, melewati properti khas Api yakni seng yang diberdirikan. Benda itu memiliki beragam visual bercitra negatif. Seperti simbol virus, biohazard, racun, dan radioaktif. Gaprax mengitarinya. 

Obenk muncul. Mengendarai semacam kuda yang terbuat dari susunan kain. Ia membawa bendera merah yang compang-camping. Di kepalanya tersemat plastik bekas air mineral, yang ujung tutupnya berada di depan.

Obenk seperti orang yang hendak meruntuhkan segala sesuatu yang buruk. Namun, karena wajahnya tertutup botol, penglihatannya terbatas. Bendera merah yang compang-camping itu bagai keberanian bercokol terusmenerus. Meski berkali-kali kalah oleh kuasa yang lebih besar.

Obenk memukul-mukul seng-seng itu. Tapi ia tak mampu meruntuhkannya. Hanya dapat membuat seng itu terhuyung-huyung, gontai, lantas berdiri tegak lagi. Di belakangnya, aktor pemegang seng berkostum sama dengan Gaprax. Merekalah anjing-anjing sang penjaga.

Naryo muncul dengan membawa tujuh sapu lidi. Ia menancapkan sapu di tengah. Beradegan membersihkan lantai, berkeliling, menancapkan satu sapu lidi lagi di sudut sebelah kanan. Berpindah ke kiri lalu memutar. Ketujuh sapu lidi itu didirikannya dengan tegak.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: