HARIAN DISWAY - Indonesia tengah mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menyatakan, salah satu penyebab utama adalah harga pangan yang terlalu murah, khususnya produk seperti cabai dan telur.
Harga cabai, yang saat ini berada di kisaran Rp 15 ribu per kilogram, jauh di bawah harga patokan pemerintah sebesar Rp 40 ribu per kilogram, sementara harga telur turun menjadi Rp 24 ribu per kilogram, di bawah patokan Rp 28 ribu per kilogram. Kondisi ini merugikan petani, karena pendapatan mereka turun drastis. Zulkifli menjelaskan bahwa pemerintah berusaha membantu mengatasi deflasi ini. Tetapi Zulkilfi menyatakan bahwa penanganan deflasi berbeda dengan inflasi.BACA JUGA: Indonesia Alami Deflasi 4 Bulan Berturut-Turut, Ini Deretan Dampaknya Ke Daya Beli Masyarakat
Jika inflasi bisa diatasi dengan cepat melalui intervensi anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), deflasi lebih sulit dikendalikan karena belum ada mekanisme bantuan yang jelas untuk harga yang terlalu murah. Selain itu, perubahan musim dari kemarau ke hujan turut mempengaruhi suplai pangan. Beberapa komoditas seperti cabai rentan terhadap hujan yang menyebabkan panen melimpah dan harga jatuh. Mendag menuatakan akan mengkaji lebih lanjut. Apakah harga yang terlalu murah ini disebabkan oleh suplai yang berlebihan atau penurunan daya beli masyarakat. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), deflasi sebesar 0,12 persen pada September 2024 juga dipicu oleh menurunnya daya beli masyarakat. BACA JUGA:BPS Mencatat Indonesia Alami Deflasi 4 Bulan Berturut-turut Pelaksana Tugas Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, mencatat bahwa penurunan daya beli ini terkait dengan penurunan jumlah kelas menengah di Indonesia, sehingga perlu dilakukan studi mendalam untuk memastikan penyebab pasti deflasi ini.Jika melihat pengalaman negara lain seperti Jepang dan Eropa, deflasi tidak hanya disebabkan oleh faktor penawaran, tetapi juga oleh perilaku konsumen yang menahan pembelian dengan harapan harga akan terus turun. Jepang, misalnya, mengalami deflasi berkepanjangan yang dikenal sebagai "Dekade yang Hilang." Kebijakan moneter yang agresif, seperti suku bunga negatif dan stimulus besar-besaran, tidak efektif karena tidak dibarengi dengan reformasi struktural. BACA JUGA: Keseruan Nonton Bareng Film Laut Tengah, Bagi-Bagi Hadiah Sampai Ada yang Bawa Banner Demikian pula di Eropa, negara-negara yang mengalami deflasi pasca krisis finansial global seperti Spanyol dan Yunani, berhasil pulih lebih cepat dengan reformasi ekonomi dan kebijakan fiskal yang lebih fleksibel.
Pelajaran dari Jepang dan Eropa menunjukkan bahwa Indonesia harus mengadopsi pendekatan multidimensi untuk menghadapi deflasi. Selain meninjau kebijakan moneter, pemerintah perlu mendorong reformasi struktural. Mencakup peningkatan produktivitas, penguatan daya beli masyarakat, dan pengembangan infrastruktur. Dengan begitu, Indonesia dapat menghindari jebakan deflasi berkepanjangan dan memastikan stabilitas ekonomi jangka panjang. *) Mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, Program MBKM Magang Harian Disway