Dalam dua tahun terakhir, terdapat 39 politikus yang terjerat kasus korupsi. Mulai menteri, anggota DPR, hingga kepala daerah. Dari 39 politikus itu, 10 orang memiliki latar belakang pengusaha.
Kasus dana hibah di DPRD Jawa Timur berpotensi menyeret mayoritas anggota dewan periode silam. Kasus itu juga berpotensi menyeret Khofifah Indar Parawansa dan Emil Dardak. Masyarakat masih menunggu tindakan tegas dari KPK.
KPK sudah hampir berusia 20 tahun, tapi berbagai tindak korupsi masih terus bermunculan. Almarhum Syafii Maarif menyebut korupsi di Indonesia ibarat kanker stadium 4. Wakil Presiden Pertama Indonesia Mohammad Hatta menyebut korupsi sudah menjadi bagian dari budaya Indonesia.
BACA JUGA: Puan Maharani Calon Tunggal Ketua DPR RI 2024-2029 dari PDIP
BACA JUGA: Tia Rahmania Gugat Balik PDIP hingga KPU RI setelah Dibatalkan Jadi Anggota DPR
Selama hidupnya, Bung Hatta sangat terkenal bersikap zuhud dan hidup sangat bersahaja. Sebuah kisah yang masyhur menyebutkan, Bung Hatta ingin membeli sepasang sepatu Bally yang diiklankan di sebuah surat kabar. Bung Hatta menempelkan guntingan foto sepatu itu di meja kerjanya dan menabung berbulan-bulan sebelum bisa membeli.
Bung Hatta menuai protes ketika menyebut korupsi sudah membudaya di Indonesia. Budaya seharusnya berasosiasi dengan hal-hal positif. Misalnya, pertanian adalah budaya karena melibatkan kebiasaan masyarakat mengolah tanah, bercocok tanam, dan menghasilkan produk yang bermanfaat.
Tapi, korupsi sebagai budaya? Yang dimaksud Bung Hatta adalah budaya kita menunjang suburnya korupsi, terutama budaya feodal warisan zaman kerajaan yang kemudian makin disuburkan penjajah Belanda.
Seorang pejabat harus bersifat benevolent (loman alias dermawan) kepada teman, sahabat, kerabat, dan handai tolan. Ia harus menolong dan membantu memberikan pekerjaan serta menolong orang sekitar dan banyak menyumbang kegiatan sosial dan keagamaan.
Almarhum Adam Malik memopulerkan istilah ”semua bisa diatur” yang sampai sekarang masih dikutip semua orang dan menjadi frasa yang khas dalam khazanah bahasa Indonesia.
Adam Malik yang berlatar belakang wartawan adalah menteri luar negeri legend yang sangat piawai dalam diplomasi luar negeri meski tidak pernah mendapatkan pendidikan formal diplomasi. Ketika wartawan asing menanyakan terjemahan Inggris dari kalimat ”semua bisa diatur”, Adam Malik menjawab sambil tersenyum lebar ”all are aturable”.
Tentu saja Adam Malik yang fasih berbahasa Inggris dan lancar beberapa bahasa Eropa tahu terjemahan letterlijk frasa itu. Tapi, penerjemahan harfiah tidak akan tepat menggambarkan konteks kalimat itu.
”All are managable” bukan terjemahan tepat. Makanya, Malik menyebutkan ”all are aturable”.
Yang dimaksud mengatur bukan me-manage. Mengatur punya makna konotatif menyiasati atau malah mengakali dan membohongi aturan. Laws are made to be broken, ’aturan dibuat untuk dilanggar’. Begitu kata pepatah Inggris. Aturan hukum memang ada, tapi aturan itu bisa diatur lagi supaya lebih teratur.
Jual beli demokrasi itu disorot Edward Aspinall dan Ward Berenschot dalam Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and State in Indonesia (2019).
Biaya politik menjadi sangat mahal karena partai politik meminta mahar yang mahal untuk membayar tiket pencalonan. Biaya makin mahal karena ada operasi vote buying (jual beli suara) dan money politics (politik uang) yang dioperasikan tim sukses.