Kehausan Filosofis Pendidikan Indonesia

Sabtu 12-10-2024,21:34 WIB
Oleh: Adi Tri Pramono*

BACA JUGA: Menilik Fenomena Bisnis Joki dalam Pendidikan Indonesia (4-Habis): Ragam Cara Dosen Deteksi dan Cegah Penjoki

Pendidikan Indonesia kian terperangkap dalam paradigma produktivisme. Keberhasilan diukur dari output seperti nilai, sertifikat, dan kelulusan. Daripada menjadi medium untuk memahami makna serta mengembangkan potensi individu, pendidikan lebih dipandang sebagai proses produksi, dengan siswa sebagai produk yang harus memenuhi standar tertentu.

Penekanan pada efisiensi dan hasil akhir itu mengabaikan esensi pendidikan sebagai proses pengembangan pemikiran kritis dan pemahaman mendalam. Akibatnya, pendidikan kita hanya mendorong pengulangan informasi. Bukan pemahaman yang bermakna.

BAKE THE BREAD

Pada sekitar abad ke-18, tepatnya 1795, seorang filsuf dan penyair asal Jerman, Fredrich Shiller, menulis esai berjudul Uber die asthetische Erziehung des Menschen. Di dalamnya ada ungkapan yang penting tentang filsafat: Philosophie kann wohl keine Brote backen, aber sie kann uns Gott und die Unsterblichkeit, Freiheit und Tugend verschaffen.

Kurang lebih bisa diterjemahkan; meskipun filsafat tidak memberikan hasil material atau langsung bermanfaat secara fisik (seperti menghasilkan roti), filsafat memberikan hal-hal yang lebih mendalam dan signifikan, seperti pemahaman tentang Tuhan, keabadian, kebebasan, dan kebajikan. 

Ungkapan itu menegaskan bahwa filsafat mungkin tidak menghasilkan hal-hal konkret secara langsung, seperti roti. Namun, tanpa filsafat, apakah roti itu punya makna? Jika pendidikan hanya fokus pada hasil material, seperti angka-angka di atas kertas, kita telah meninggalkan esensi terdalam dari mengapa kita belajar.

Di situlah relevansi Tut Wuri Handayani muncul. Filosofi Ki Hadjar Dewantara itu tidak hanya menekankan pentingnya pendidikan sebagai alat untuk menumbuhkan kemandirian. Tetapi, juga memberikan ruang bagi siswa untuk berkembang menjadi manusia utuh. 

Pendidikan harus ”tut wuri handayani” –mendorong dari belakang, membimbing siswa untuk tidak hanya menjadi individu yang produktif, tetapi juga manusia yang memiliki kesadaran etis, kebebasan berpikir, dan kemampuan untuk memahami esensi kehidupan. 

Pendidikan tidak seharusnya hanya berfokus pada produk akhir –nilai dan gelar– tetapi juga harus mendorong pemikiran kritis dan kesadaran moral. Hubungan antara dua aksioma tersebut menegaskan bahwa pendidikan yang hanya mengajarkan bagaimana menghasilkan roti –tapi melupakan nilai filosofis yang mendasarinya– adalah pendidikan yang kehilangan jiwa.

Jika Schiller berpendapat bahwa filsafat ”tidak bisa membuat roti”, pendidikan di Indonesia memang harus bisa ”membuat roti”. Yakni, memberikan keterampilan praktis dan hasil yang nyata. Namun, pendidikan tidak boleh berhenti hanya pada aspek tersebut.

Pendidikan yang holistik harus mampu menanamkan kesadaran moral, membangun kemampuan berpikir kritis, serta menyampaikan nilai-nilai filosofis yang membentuk pribadi yang utuh dan berdaya pikir tinggi. 

Pendidikan yang baik tidak sekadar mempersiapkan individu untuk pasar kerja. Tetapi, juga mempersiapkan mereka untuk kehidupan yang bermakna dan bertanggung jawab secara sosial.

Dengan kata lain, pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang dapat ”membuat roti,” tetapi mampu mengajarkan bagaimana memberi makna pada roti tersebut –mengajarkan tujuan lebih tinggi dari sekadar menghasilkan produk. 

Dengan begitu, kita tidak hanya akan menciptakan individu yang mampu ”membuat roti”, tetapi juga manusia yang bisa memberikan makna pada apa yang mereka hasilkan.

Solusi untuk krisis itu lantas tidak dengan lagi-lagi menyusun kurikulum baru, tetapi pada perubahan paradigma. Guru, dosen, orang tua, dan masyarakat secara keseluruhan harus lebih berperan dalam menanamkan nilai-nilai moral terutama kepada generasi muda. 

Kategori :

Terkait