Kehausan Filosofis Pendidikan Indonesia
ILUSTRASI Kehausan Filosofis Pendidikan Indonesia.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
PENDIDIKAN di Indonesia terkini bisa digambarkan sebagai teater tragis yang terus dipentaskan dengan plot yang sama: korupsi akademik, plagiarisme, dan skandal moral. Yang paling ironis, pendidikan yang makin jauh dari akarnya.
Lulusan dihasilkan dalam jumlah besar, seperti produk di pabrik, tapi di mana mereka yang benar-benar punya karakter?
Kasus plagiarisme guru besar di kampus ternama, bahkan pelecehan seksual yang dilakukan guru terhadap muridnya, seakan menjadi berita harian. Mencerminkan betapa kompleksitas moral dan intelektual di dunia pendidikan kian runtuh.
BACA JUGA: Transformasi Pendidikan Indonesia: Integrasi AI dalam Pendidikan
BACA JUGA: Mental Elite Liberalisme dalam Pendidikan Indonesia
Pendidikan, yang seharusnya menjadi penjernih air kehidupan, kini justru keruh, penuh lumpur, atau bahkan tidak bisa diminum.
Fenomena itu mengungkap paradoks miris: pendidikan yang semestinya menjadi penyinar kegelapan justru kerap memproduksi kegelapan baru. Di satu sisi, kita bangga dengan prestasi akademik yang dicanangkan di mana-mana –nilai ujian, peringkat internasional, dan segudang sertifikasi. Di sisi lain, kita terus mendengar berita tentang krisis moral di institusi-institusi pendidikan.
Paradoks itu adalah sebuah luka terbuka yang tidak sembuh karena dijahit dengan solusi teknis tanpa menyentuh akar filosofis dari pendidikan itu sendiri.
BACA JUGA: Menilik Fenomena Bisnis Joki dalam Pendidikan Indonesia (2) : Dosen pun Dilanda Dilema…
PRODUKTIVISME PENDIDIKAN
Paradoks itu berakar pada kekeringan filosofis yang telah berlangsung lama. Pendidikan di Indonesia ibarat mesin besar yang bekerja keras dan berat, tetapi kurang pelumas. Filsafat, yang seharusnya menjadi fondasi serta katalis dalam pencarian ilmu, justru terpinggirkan.
Apa yang terjadi ketika filosofi dikesampingkan dari pendidikan? Pendidikan menjadi kehilangan arah. Seperti kapal yang berlayar tanpa kompas. Berusaha mencapai tujuan semu yang hanya berwujud angka dan sertifikat.
Saat ini pendidikan kita adalah cermin orang yang kehausan. Namun, tidak meminum air segar, ia malah menenggak air laut. Fenomena itu tampak jelas ketika sistem pendidikan terus berfokus pada angka dan produktivitas. Mengukur keberhasilan semata dari jumlah lulusan atau peringkat institusi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: