Mental Elite Liberalisme dalam Pendidikan Indonesia

Mental Elite Liberalisme dalam Pendidikan Indonesia

ILUSTRASI mental elite liberalisme dalam pendidikan Indonesia.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

MANAJEMEN berbasis sekolah selama ini dilaksanakan atas dasar kewenangan dan kekuasaan. kewenangan perintah yang dilaksanakan oleh bawahan dari atasan sebagai pengakuan terhadap posisi atasan yang sah. kekuasaan yang merujuk kepada kemampuan seseorang (bisa guru, kepala sekolah, kepala dinas pendidikan, dan lainnya) untuk memaksakan kehendak kepada orang lain tanpa mempertimbangkan apakah orang tersebut menolak (resistan) atau tidak terhadap paksaan tersebut. 

Dengan demikian, kemajuan pendidikan di Indonesia menjadi semu, dari tahun ke tahun sebenarnya tidak beranjak. 

BACA JUGA: Indonesia 2024–2029: Selamat Datang, Neoliberalisme Inklusif!

BACA JUGA: Pendidikan Vokasi, Jalan Tengah saat UKT Mahal

Terbaru, 2024 kualitas SDM digambarkan oleh Human Capital Index (HCI), Indonesia berada di peringkat ke-96 dari 173 negara. Peringkat beberapa negara ASEAN adalah Singapura (1), Vietnam (38), Malaysia (62), Thailand (63), dan Filipina (103). 

Sangat ironis. Kita hidup bertetangga dengan negara nomor satu pendidikannya.

DIHINGGAPI PAHAM LIBERALISME

Perubahan tata kelola perekonomian dunia telah menyeret banyak negara, termasuk Indonesia, dalam pusaran liberalisasi sistem pendidikan. Manajemen berbasis sekolah menjadi sulit dikembangkan karena mental pengelolaannya hanya mau dilayani saja, priayi elite, dihinggapi paham liberalisme yang kuat. 

Sejarah itu berawal dari pendudukan Belanda, tekanan datang dari Partai Sosial Demokrat yang di dalamnya ada Van Deventer. Tahun 1899, Mr. Conrad Theodore van Deventer melancarkan kritik yang tajam terhadap pemerintahan penjajah Belanda. 

BACA JUGA: Menjaga Kota sebagai Cagar Budaya (2): Dampak Kebijakan Neo-liberalisme

BACA JUGA: UNICEF Kembangkan Digital Skill Bagi Siswa Pendidikan Nonformal

Kritik tersebut ditulis dalam jurnal Belanda De Gids dengan judul Een Eereschuld yang berarti ”utang budi”atau ”utang kehormatan”. Tulisan tersebut menjelaskan bahwa kekosongan kas negeri Belanda telah dapat diisi kembali berkat pengorbanan orang-orang Indonesia. 

Akhirnya, muncullah Trilogi Van Deventer, sekolah diadakan untuk anak Indonesia meski hanya pejabat pribumi (pangreh praja), sedangkan rakyat kebanyakan tidak. Di sanalah awal mula terbentuknya mental priayi elite dimulai dari stratifikasi sosial yang dibuat Belanda.

Anehnya, mental priayi elite itu terus turun-menurun sampai orde pembangunan yang terus langgeng dalam praktik pendidikan hingga kini. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: