Tahu-tahu, tubuh Reza diseret dua pria, dimasukkan ke selokan di pinggir jalan.
Kemudian, datang dua pria lainnya yang mengangkat sebuah batu kali besar, kira-kira sebesar anjing dewasa. Batu itu dihunjamkan dengan keras ke tubuh Reza yang terkurung di selokan. Hunjaman batu tersebut jadi dahsyat karena terbantu gravitasi bumi. Bum… Pastinya tubuh itu remuk. Reza sekarat, akhirnya tewas di tempat.
Nasib Satria lebih bagus. Ia babak belur dihajar warga. Di saat kritis, tim polisi datang mengamankan Satria dari amuk massa. Nyawa Satria terselamatkan, tapi terluka parah.
Proses itu sangat cepat. Menurut saksi mata, proses dari saat pelaku mengeluarkan motor dari rumah korban sampai tewas dihakimi massa tak sampai sepuluh menit. Jumlah massa sekitar seratus orang.
Sementara itu, korban Sumarno yang bertarung melawan Satria dilarikan ke rumah sakit. Luka-luka robek di tubuhnya dijahit. Malamnya ia sudah boleh pulang dari RS.
Barang bukti yang diamankan polisi adalah 1 kunci letter T dan magnet pembuka lubang tutup kunci, 2 senjata mainan pistol jenis doblis, 1 sepeda motor Honda Vario yang digunakan dua terduga pelaku. Lalu, Motor Honda Beat milik korban.
Menanggapi tragedi itu, pendapat warga bisa beragam. Ada yang bersyukur karena kini marak pencurian kendaraan bermotor, bahkan begal motor bertindak kejam. Ada yang menyayangkan, seperti ibu-ibu di TKP. Ada yang menyalahkan penegak hukum. Sebab, main hakim sendiri tanda bahwa penegak hukum dianggap gagal sehingga berlaku pengadilan jalanan. Ada yang menganggap, itu akibat kemiskinan parah (pelaku dan warga) sehingga mereka bertindak brutal.
Pengadilan jalanan di Indonesia marak selama seperempat abad terakhir. Kondisi itu disoroti media massa internasional sejak lama. Sejak awal era reformasi. Mengapa dikaitkan reformasi? Sebab, media massa asing menganalisis begini:
Dikutip dari Los Angeles Times, 21 Desember 2000, berjudul Indonesian Justice Run Amok disebutkan, Indonesia selama 32 tahun dipimpin Presiden Soeharto, masyarakat tidak berani bertindak sendiri-sendiri. Apalagi, melakukan pengadilan jalanan. Sebab, aparat penegak hukum bertindak keras. Khususnya terhadap lawan politik pemerintah. Itu membikin masyarakat takut.
Soeharto lengser 21 Mei 1998. Berganti ke era reformasi. Pemerintah yang baru menyebutnya sebagai penegakan demokratisasi (transisi ke rezim politik yang lebih demokratis).
Sebagai konfirmasi, Los Angeles Times waktu itu mewawancarai Prof Sardjono Jatiman, guru besar sosiologi Universitas Indonesia, yang mengatakan, “Yang kami miliki sekarang adalah kebebasan demokrasi tanpa ketertiban. Jadinya, orang merasa bebas bertindak apa saja, mengabaikan ketertiban.”
Media massa itu juga mewawancarai seorang komandan polisi di Tangerang (tidak disebut identitas), yang mengatakan, ”Orang-orang mengira ada demokrasi dan mereka bisa melakukan apa saja. Akibatnya, mereka merasa tidak bersalah bertindak apa pun karena sekarang era demokrasi. ”
Liputan Los Angeles Times di Indonesia pada seperempat abad lalu itu ternyata masih relevan untuk Indonesia hingga sekarang. Fokus pada pernyataan Prof Sardjono Jatiman itu.
Masyarakat kita sekarang (entah karena dikompori atau dibayar politikus atau tidak) gemar meneriakkan kata ”demokrasi” ketika bertindak ”keras”. Misalnya, demo yang berakibat rusuh. Atau, orang yang menghina presiden RI. Atau, tokoh yang menyarankan tindakan revolusi. Mereka merasa bebas bicara atas nama demokrasi meski pernyataan itu berpotensi chaos.
Dikutip dari file Perpustakaan Lemhannas RI, halaman 14, Wakil Presiden RI Boediono ketika masih menjabat mengatakan, negara akan mampu menerapkan demokrasi dengan baik jika pendapatan per kapita minimal USD 6.000. Sedangkan saat ini (waktu itu, Boediono menjabat wapres 2009–2014) pendapatan per kapita Indonesia USD 3.000. Jauh dari layak jika Indonesia disebut negara demokratis.
Kini, berdasar data Badan Pusat Statistik, pada 2023 pendapatan per kapita Indonesia masih juga jauh dari standar minimal yang disebutkan Boediono itu.