BACA JUGA:Pembelajaran untuk Hadapi Era Digital
Tidak jarang homeless media menerima konten langsung dari masyarakat melalui pesan pribadi atau tag di media sosial, menciptakan ekosistem informasi yang partisipatif dan dinamis. Dari sisi lalu lintas informasi dan interaksi, hal itu adalah undangan terbuka bagi para praktisi dan akademisi untuk menelisiknya lebih dalam.
HOMELESS MEDIA DALAM EKOSISTEM MEDIA INDONESIA
Dalam laporan penelitian yang dilakukan oleh Remotivi (2020, 2024), homeless media muncul sebagai respons terhadap kekosongan yang ditinggalkan media mainstream dalam meliput isu-isu lokal.
Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, dan Medan, masyarakat merasa bahwa media nasional cenderung fokus pada isu politik dan ekonomi tingkat nasional atau internasional. Sebaliknya, peristiwa lokal yang berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari sering terlupakan.
BACA JUGA:Dalam Era digital, Identitas Seseorang Bisa Bias
BACA JUGA:Bukti Otentik sebelum Era Digital
Homeless media mengisi celah itu dengan memanfaatkan platform media sosial yang lebih dekat dan relevan bagi komunitas lokal. Mereka menawarkan informasi yang tidak hanya cepat, tetapi juga sesuai dengan kebutuhan spesifik masyarakat setempat.
Hal tersebut sejalan dengan teori uses and gratifications dalam studi komunikasi, yang menyatakan bahwa audiens aktif mencari media yang memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka (Katz, Blumler, & Gurevitch, 1974).
Salah satu keunggulan utama homeless media adalah fleksibilitas mereka dalam mengumpulkan dan menyebarkan informasi. Tanpa terikat oleh birokrasi, prosedur editorial yang kompleks, ataupun prinsip jurnalistik yang kaku, mereka dapat merespons peristiwa hampir secara real-time.
Partisipasi aktif dari komunitas juga menjadi elemen kunci di sini. Masyarakat tidak hanya sebagai konsumen informasi, tetapi juga sebagai kontributor, mengirimkan laporan, foto, atau video langsung dari lokasi kejadian.
Sering kali topiknya bukanlah topik yang baru. Namun, partisipasi aktif masyarakat secara langsung memberikan perspektif baru yang tidak terpikirkan sebelumnya. Itu memperkaya informasi mengenai topik yang sedang dibahas.
Jenkins (2006), dalam konsep participatory culture, memunculkan bahwa keterlibatan aktif audiens dalam produksi dan distribusi konten media menciptakan ekosistem yang lebih demokratis. Homeless media secara tidak langsung menjalankan prinsip itu dengan efektif, memungkinkan aliran informasi menjadi lebih horizontal dan inklusif.
TANTANGAN YANG TIDAK MUNGKIN DIABAIKAN
Namun, kecepatan dan fleksibilitas itu menyimpan risiko yang tidak bisa diabaikan. Tanpa mekanisme verifikasi yang kuat, homeless media rentan terhadap penyebaran misinformasi dan hoaks.
Studi dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (2021) menunjukkan peningkatan signifikan dalam penyebaran informasi palsu melalui platform media sosial, termasuk yang disebarkan akun-akun tanpa afiliasi media resmi.