HARIAN DISWAY - Sumber daya alam yang melimpah menjadikan Indonesia sebagai salah satu produsen sustainable energy atau energi terbarukan, salah satunya melalui biofuel. Keuntungan dari adanya fuel ini antara lain mengurangi konsumsi bahan bakar fosil, mendorong keberlanjutan energi serta menciptakan stabilitas ekonomi dalam industri sawit.
Indonesia memproduksi biofuel-nya dengan memanfaatkan kelapa sawit. Dipilihnya kelapa sawit sebagai bahan baku BBM nabati antara lain, ketersediaannya yang melimpah, kandungan minyaknya yang tinggi dibanding bahan baku BBM nabati yang lain, biaya produksi yang relatif rendah serta dukungan infrastruktur dan kebijakan dari pemerintah seperti B35 dan B40.
Tantangan Global
Indonesia merupakan satu dari banyak negara yang memproduksi biofuel atau bahan bahan minyak (BBM) nabati. Dari banyaknya produsen minyak nabati itulah muncul persaingan baik yang sehat hingga tidak sehat.
Sempat mencuat beberapa kali isu pelarangan Crude Palm Oil (CPO) atau minyak kelapa sawit untuk beredar di Uni Eropa. Setidaknya ada tiga kebijakan dari Eropa yang melarang peredaran CPO Indonesia, antara lain, Renewable Directive Energy II, European Green Deal serta kebijakan Deforestasi.
Dari ketiga kebijakan tersebut, kebijakan deforestasi itulah yang cukup menghambat produk CPO Indonesia. Kebijakan tersebut menyebutkan bahwa produsen harus dapat membuktikan produknya bebas dari kegiatan deforestasi. Sedangkan kelapa sawit masih identik dengan isu deforestasi.
Upaya Indonesia Menghadapi Tantangan Global
Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah pernah melayangkan gugatan ke World Trade Organization (WTO) atas kebijakan Eropa yang mempersulit produk Indonesia (CPO) masuk ke wilayah Uni Eropa. Dengan diajukan gugatan tersebut besar harapan Uni Eropa akan menghapuskan atau merevisi kebijakan yang menghambat minyak kelapa sawit.
Potret Pengolahan Minyak Kelapa Sawit-Tangkapan Layar Youtube @Rekayasa Teknologi-Tangkapan Layar Youtube @Rekayasa Teknologi
BACA JUGA:Pemanfaatan Kelapa Non-Standar Untuk Bahan Baku Biovaktur CSAT
Tantangan dari Dalam Negeri
Selain dari tantangan global, Biofuel juga mempunyai tantangan yang berasal dari dalam negeri, contohnya adalah ketimpangan harga. BBM fosil cenderung lebih murah dibandingkan dengan BBM nabati.
Untuk mengatasi hal tersebut maka diberikanlah subsidi untuk bbm nabati, seperti biodiesel agar bbm nabati seimbang harganya dengan bbm fosil. Uniknya, yang memberikan subsidi adalah dari industri kelapa sawit itu sendiri melalui badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDKS).
Sebenarnya, penyerapan dana terbesar dari produk sawit berasal dari sektor ekspor, yang mencapai 70 persen dari total pendapatan, dibandingkan dengan sektor bahan bakar nabati. Dana dari sektor ekspor inilah yang digunakan untuk menutup selisih harga antara bahan bakar nabati dan bahan bakar fosil.
Maka dengan demikian perusahaan penyedia bahan bakar seperti Pertamina tidak akan merugi. Hal tersebut dikarenakan Pertamina membeli bbm nabati tersebut seharga bbm fosil.
Mandatori Biofuel di Indonesia
Kebijakan mandatori biofuel di Indonesia diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya MIneral (ESDM). Kebijakan ini didorong oleh keinginan pemerintah Indonesia dalam hal kemandirian energi serta komitmen global dalam mengurangi efek rumah kaca.
Pengembangan Biofuel di Indonesia sudah dimulai dari tahun 2008. Pada saat itu, pemerintah mewajibkan solar setidaknya mengandung 5 persen biodiesel dari kelapa sawit. Seiring berjalannya waktu campuran biodiesel dalam solar kini sudah mencapai 35 persen atau B35.
Pemerintah dalam beberapa tahun ke depan berencana untuk meningkatkan kandungan minyak nabati dalam solar ke angka 40% hingga 50%. Selain, itu kini pemerintah juga sedang mengembangkan bioavtur yang sudah dua kali diuji coba pada dua jenis pesawat yang berbeda.