Menatap Industri Hasil Tembakau di Era Presiden Baru

Minggu 03-11-2024,13:33 WIB
Oleh: Kukuh Dwi Kristianto*

Menjadi sebuah pertanyaan, mengapa Prabowo mempertahankan Ibu Sri Mulyani dan Bapak Budi Gunadi Sadikin untuk tetap di posisinya seperti yang saat ini? 

Kalau melihat dari tolok ukur prestasi, rasanya penulis tidak akan cukup menuliskan prestasi mereka di dalam tulisan ini. Sri Mulyani, contohnya, mampu menavigasi keuangan negara dan menyelamatkan Indonesia dari beberapa kali jurang resesi ekonomi. 

Bagaimana tidak, situasi global yang tidak menentu terjadi berawal dari perang dagang Tiongkok dan Amerika Serikat, kemudian dihajar oleh Covid-19, belum juga pulih, sudah terkena dampak dari perang terbuka Ukraina dan Rusia, bahkan seperti saat ini, perang di Timur Tengah yang mana pasti berdampak pada perekonomian global.

BACA JUGA:Tembakau Klaten, Cerutu Panen

BACA JUGA:Balada Tembakau, Disukai Tapi Juga Dibenci

Bagaimana dengan Budi Gunadi Sadikin? Barangkali prestasi terbaiknya adalah menyelesaikan UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023. UU Omnibus Kesehatan itu terdiri atas 20 bab dan 458 pasal, tebalnya mencapai 300 halaman. Begitu super UU itu, sehingga ketika disahkan, ia langsung mencabut mandat dari 11 undang-undang sebelumnya. 

Bahkan, pembahasannya tergolong cepat, diawali pada Februari 2023 hingga disahkan pada Agustus 2023. UU setebal itu dibahas hanya dalam kurun waktu enam bulan. Mungkin atas dasar itu, Bapak Presiden terpilih 2024–2029 meminta Budi Sadikin untuk bisa mengawal pelaksanaan UU itu hingga tuntas 

Kita kembali ke industri hasil tembakau (IHT), dalam kesempatan wawancara, Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok (GAPPRI) Henry Najoan mengungkapkan bahwa terdapat 5,9 juta jiwa masyarakat di Indonesia yang bergantung pada ekosistem produk dan industri tembakau. 

BACA JUGA:Kontainer Mahal, Tembakau dan Furnitur Masih Berani Kirim Barang

Industri itu menggerakkan perekonomian dari hulu hingga hilir, mulai petani, buruh, pekerja industri pendukung seperti kertas, pembungkus dan perasa, hingga para distributor dan pedagang kecil. 

Belum lagi kontribusinya dari sisi ekonomi, menurut Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian Merrijanti Punguan, IHT menyumbang cukai hingga Rp 213 triliun di tahun 2023. 

Itu merupakan penyumbang pendapatan negara terbesar yang ketiga. Itu kalau konteks negara. Dalam konteks yang lebih kecil, yakni lingkup provinsi, IHT menyumbang 33 persen dari Produk domestik regional bruto (PDRB) dari Provinsi Jawa Timur. Itu menurut Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur Adik Dwi Putranto. 

Kalau kita teropong pelaksanaan IHT dari kacamata Astacita, delapan program yang dibawakan pasangan Prabowo-Gibran saat kampanye, pengaturan industri hasil tembakau setidaknya mencakup empat aspek Astacita. 

Yang pertama adalah Astacita nomor 3, yakni peningkatan lapangan kerja yang berkualitas. Sudah barang tentu IHT menyerap tenaga kerja yang sangat besar. Sektor padat karya SKT, misalnya, menyerap puluhan ribu perempuan sebagai ibu-ibu pelinting. 

Kemudian, Astacita nomor 5, yaitu Hilirisasi dan industrialisasi. Menurut Sekjen Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) K. Mudi, IHT itu menyerap ratusan ribu ton tembakau yang dihasilkan sekitar 2,5 juta petani tembakau. 

Lalu, Astacita nomor 6, yakni membangun dari desa dan dari bawah. Sudah menjadi fakta bahwa petani tembakau sering kali berasal dari lahan marginal dan daerah yang tidak subur atau kekurangan air. 

Kategori :