Media massa punya peran penting dalam membentuk norma dan nilai-nilai sosial di masyarakat. Sayangnya, salah satu dampak negatif yang kerap muncul adalah sebanyak dan sesering apa sebuah media dalam memberikan tayangan-tayangan bermutu bagi audiens mereka.
Khusus di Indonesia, yang teramati adalah pelanggengan budaya patriarki dalam tayangan dan konten media.
Salah satu contoh fenomena itu adalah Take Me Out Indonesia (TMOI), sebuah acara di stasiun televisi swasta sejak 2009.
Tatkala pertama kali tayang, TMOI mengundang perhatian banyak orang dengan konsep acara kencan yang menarik.
Di situ digambarkan, ada lelaki yang ingin mencari dambaan hatinya. Entah sekadar untuk bersenang-senang, jadi teman atau relasi, atau bahkan menemukan pendamping hidup.
Peserta, baik pria maupun wanita, dapat mengikuti acara ini dengan mendaftarkan dirinya melalui format pendaftaran yang telah tersedia di media sosial resmi.
Syaratnya, peserta harus berstatus lajang, berusia antara 23 hingga 34 tahun, menarik, serta memiliki karakter yang kuat dan menarik.
Dalam acara TMOI, pria digambarkan dengan atribut maskulin yang memiliki kesuksesan materi, penampilan fisik yang menarik, dan kecakapan dalam beberapa bidang yang mereka kenalkan sesaat memasuki stage.
BACA JUGA:Karier dan Feminitas: Dua Sisi Koin Perempuan Modern
Di situlah peserta pria tampil sebagai figur dominan yang dapat memilih satu di antara tiga puluh perempuan. Komposisi itu sendiri menunjukkan bahwa posisi perempuan sering kali terpuruk pada urusan perjodohan.
Penggambaran semacam itu seperti diterima begitu saja. Seolah mencerminkan budaya patriarki masih hidup dan diterima di Indonesia, ketika pria dianggap harus lebih dominan dan memiliki kuasa lebih besar.
Fenomena itu mengingatkan kita pada penelitian oleh Connell (2005) yang mendefinisikan “hegemonic masculinity.” Yakni, bagaimana seharusnya menjadi laki-laki, yang harus memenuhi standar maskulinitas tertentu, yaitu dominan, kuat, dan berhasil.
Dilansir dari studi yang dilakukan oleh Lembaga Kajian Gender dan Media (2022), representasi perempuan dalam media massa Indonesia sering kali menggunakan stereotip gender tradisional yang membatasi peran perempuan dalam masyarakat, kepemimpinan, sosok yang bergantung pada laki-laki dan lemah.
Sehingga pada acara TMOI, posisi perempuan dinomorduakan. Meskipun mereka diberikan kesempatan untuk menolak dengan cara mematikan lampu podium jika tidak tertarik pada pria tersebut, namun pria tetap memegang keputusan terakhir. Hal itu tetap menunjukkan kesenjangan gender secara signifikan.
Padahal, idealnya dalam konteks kesetaraan gender, peluang yang sama hendaknya diberikan kepada pria dan wanita untuk berkontribusi dalam berbagai aspek kehidupan. Wanita tidak seharusnya dibatasi untuk berkarier, mencari nafkah, atau bahkan terjun ke dunia politik.
Kesetaraan gender telah menjadi bagian dari agenda dunia internasional, termasuk dalam Sustainable Development Goals (SDGs). Kesetaraan itu menekankan pentingnya menciptakan hubungan setara antara laki-laki dan perempuan.