Dia tidak tahu bahwa negara tidak hadir dalam kesulitannya.
Dia tidak tahu bahwa negara ini gagal melindungi rakyatnya.
Dia tidak tahu tentang diskusi tingkat tinggi para kaum elitis tentang hal-hal yanga utopia: bonus demografi dan ”Indonesia Emas”.
Yang dia tahu, hanya lapar, lapar, dan lapar....
Saya memanggil anak itu, ”Sini, Nak, ambil ini, Nak. Uang ini untuk kamu. Tapi, saya tidak membeli kuemu.”
Dia menatap mata saya ramah dan tersenyum, ”Saya jualan, Pak, tidak minta-minta. Terima kasih.” Kemudian, dia pergi. Buru-buru dia saya panggil, ”Sini, saya beli, Nak.”
Dia kembali dan saya ambil kuenya. ”Terima kasih, Pak.” Tampaknya ibu sebelah saya melihat episode itu dan dia juga beli. Saya lihat, anak kecil itu mengembalikan uang kembaliannya.
Terima kasih, ya Allah….
Di tengah defisitnya harga diri, kita lihat di sekitar kita akhir-akhir ini, Engkau mengirim sosok mungil ini untuk memberikan pelajaran sangat berharga bagi kita semua.
Hati saya bertanya-tanya, apa yang terjadi di negeri ini selama 79 tahun merdeka? Teringat pesan Drucker: ”Tidak ada negeri miskin, yang ada hanya negara yang salah urus”.
Makin sedih saya memikirkan nasib anak ini kelak. Apakah anak ini bisa menjadi bagian dari bonus demografi kelak? Atau, hanya akan menjadi beban demografi.
Oh ya, hampir lupa, sate kambingnya memang enak. (*)
*) Prof Dr dr Ario Djatmiko adalah spesialis bedah kanker payudara, pengurus Ikatan Dokter Indonesia dan Yayasan Kanker Indonesia, pendiri Rumah Sakit Onkologi Surabaya, dan pendiri Reach to Recovery Surabaya.