Selain itu, ada yang memaknai unggahan Erina sebagai bentuk representasi dari seseorang yang tone deaf, yaitu orang yang tidak peduli pada kondisi masyarakat di luar dari dirinya dan tidak berempati kepada masyarakat yang sedang menuntut keadilan.
Jika posisi oposisional merespons unggahan tersebut dengan pemaknaan yang sama sekali berbeda dan terkesan kontra, posisi negosiasi justru berada dalam dua posisi, yaitu pro dan kontra.
Mislanya, tanggapan dua netizen di bawah ini.
”Mbak @erinagudono, sebagai sesama Ibu saya paham mbak sedang dalam euforia merayakan kelahiran, mbak ingin berbuka setelah 9 bulan layaknya berpuasa. Sah-sah saja. Tapi, rasanya tidak patut jika mbak menampakkan KEMEWAHAN di tengah banyak rakyat yang kesulitan. Semoga mbak lebih punya RASA EMPATI.” (selebtempo.com, Oktober 2024)
”Kalau menurut saya, itunya (omakase) sih harusnya enggak dipermasalahkan, ya enggak apa-apa,” ucap Pandji Pragiwaksono seperti dilansir di tayangan YouTube Pandji pada Jumat, 25 Oktober 2024.
”Sebenarnya yang dipermasalahkan itu adalah postingnya. Sebenarnya enggak perlu posting, karena postingnya mengindikasi pamer. Erina sebagai istri dari Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia harusnya lebih mawas diri,” (insertlive.com, 25 Oktober 2024).
Keduanya bisa menerima dan tidak mempermasalahkan jika Erina menyantap susyi dengan layanan omakase. Namun, mereka tidak menyetujui jika momen itu diunggah di media sosial karena masih menganggap itu adalah bentuk dari flexing.
Yakni, memamerkan kemewahan yang berlebihan. Pamer kemewahan, menurut mereka, dinilai tidak layak dilakukan di tengah masyarakat Indonesia yang masih berada dalam kondisi yang kesulitan makan.
Dari unggahan Erina tentang omakase dan respons netizen yang ia terima, kita bisa belajar tiga hal.
Pertama, setelah proses mengunggah di media sosial, kita tidak pernah bisa menjamin respons yang kita terima dari seseorang akan selalu sama dengan yang kita pikirkan. Itukah yang disebut Hall dengan no necessary correspondence.
Kedua, setelah peristiwa itu, Erina Gudono perlu memperhatikan kritik yang disampaikan netizen, terutama yang berkaitan dengan isu flexing dan tone deaf karena yang dikatakan netizen menjadi penting ketika bicara tentang kondisi masyarakat Indonesia.
Ketiga, bijak dalam menggunakan media sosial. Itu berlaku untuk siapa pun, bukan hanya Erina. (*)
*)Tia Saraswati adalah pengajar di Prodi Bahasa dan Sastra Jepang, FIB, Unair