KABINET PRABOWO yang sering disebut sebagai ”kabinet gemuk” karena banyaknya menteri dan pejabat setingkat menteri menghadapi tantangan besar dalam menghadapi dinamika politik dan ekonomi global.
Itu terutama saat Donald Trump kembali memimpin Amerika Serikat. Kemenangan Trump, dengan pendekatan proteksionis dan nasionalisme ekonomi yang kuat, akan memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian global, yang pada gilirannya dapat memengaruhi pengembangan SDM dan strategi psikologi organisasi di Indonesia.
DAMPAK PROTEKSIONISME
Salah satu tantangan utama dari kebijakan ”America First” yang diusung Trump adalah proteksionisme yang dapat berdampak pada pasar ekspor dan investasi di Indonesia.
BACA JUGA:Rapat Kabinet Paripurna, Prabowo Titip Hal Ini Selama Dirinya Kunker ke Luar Negeri
BACA JUGA:Prabowo Peringatkan Anggota Kabinet Jangan Main-Main Dengan Judi Online
Psikolog organisasi Robert Feldman berpendapat bahwa dalam kondisi ketidakpastian ekonomi global, ”organisasi perlu mengembangkan fleksibilitas psikologis dalam tenaga kerjanya, yang memungkinkan mereka beradaptasi dengan perubahan dan tetap produktif meskipun dihadapkan pada ketidakpastian”.
Kabinet Prabowo harus memastikan bahwa SDM di Indonesia mampu bersaing di pasar domestik dan regional dengan mengembangkan kompetensi yang fleksibel dan berdaya saing tinggi.
Pandangan itu didukung Sofian Siregar, pakar pengembangan SDM dari Universitas Indonesia, yang menekankan bahwa Indonesia harus berfokus pada pelatihan SDM berbasis keterampilan adaptif yang relevan dengan kebutuhan pasar domestik, terutama di sektor-sektor yang kurang bergantung pada ekspor.
BACA JUGA:Kegiatan Retret Para Menteri Kabinet Merah Putih Dibiayai Prabowo dari Uang Pribadi
BACA JUGA:Kabinet Langsung Gas Pol, Prabowo Minta Laporan Proker Pekan Depan
Dengan kabinet yang besar, pemerintah dapat memanfaatkan berbagai kementerian untuk bekerja sama dalam meningkatkan kompetensi tenaga kerja yang fleksibel dan inovatif dalam menghadapi tantangan ekonomi global.
Trump dikenal menerapkan kebijakan yang ketat dalam hal transfer teknologi dan investasi di sektor strategis. Hal tersebut bisa membatasi akses Indonesia terhadap teknologi tinggi, yang sangat dibutuhkan untuk perkembangan sektor industri.
Kajian psikologi industri menyatakan bahwa membangun budaya inovasi dalam organisasi memerlukan kepemimpinan yang kuat dan kebijakan yang mendukung pengembangan teknologi dalam negeri.
BACA JUGA:Perjalanan Karier Dyah Roro Esti, Wakil Menteri Termuda di Kabinet Prabowo-Gibran