Tujuannya untuk mengurangi permintaan seks dengan mencegah pria (pembeli utama) membelinya secara ilegal. Harapannya, ketika permintaan berkurang, otomatis jumlah pelacur berkurang, akhirnya jumlah kekerasan terhadap perempuan berkurang.
Para pendukung Nordic Model mengakui semua pekerjaan seks sebagai kekerasan terhadap perempuan. Dan, mereka ingin melihat pelacuran diberantas.
Problem pada Nordic Model adalah sudut pandang idealisnya bahwa pekerjaan seks akan menjadi tidak ada jika ilegal.
Sementara itu, banyak negara yang mengadopsi Nordic Model melaporkan:
Penurunan jumlah orang pengakses industri seks, ada juga laporan tentang hilangnya pendapatan, hubungan seks yang lebih berisiko dengan klien yang lebih berisiko, lebih sedikit penggunaan kondom, hubungan seks yang lebih keras yang bahkan menyebabkan kematian, kurangnya kepercayaan diri pelacur untuk melaporkan kekerasan konsumen terhadap mereka kepada polisi, dan situasi kerja pelacur tidak menyediakan jaring pengaman.
Artinya, pelacuran tetap ada meski aturan negara menyatakan hal itu ilegal. Pelacuran sembunyi-sembunyi. Dan, merugikan pelacur.
Norma Jean Almodovar dalam karya ilmiah berjudul For Their Own Good: The Results of the Prostitution Laws as Enforced by Cops, Politician and Judges, dipublikasi di jurnal hukum Hastings Women’s, 23 November 2015, menyebutkan:
”Undang-undang yang melarang prostitusi dapat mempersulit para pria dan wanita yang terlibat dalam prostitusi untuk melaporkan kekerasan yang mungkin mereka alami saat bekerja.”
Artinya, UU tersebut merugikan pelacur. Sebab, meski ilegal, pelacuran tetap ada. Tidak bisa diberantas.
Di Indonesia lain lagi. Pelacur dan konsumen tidak melanggar hukum. Kecuali, pihak yang merasa dirugikan (misalnya, istri dari laki-laki konsumen pelacuran) melapor ke polisi. Maka, pria konsumen melanggar pasal perzinaan Pasal 284 KUHP dan Pasal 411 UU 1/2023. Itu delik aduan.
Namun, germo dan penyedia tempat pelacuran melanggar hukum.
Pasal 296 KUHP: Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau pidana denda paling banyak Rp 15 juta.
Pasal 420 KUHP: Setiap Orang yang menghubungkan atau memudahkan orang lain melakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun.
Jadi, Indonesia tidak mengadopsi Nordic Model, juga tidak melegalkan pelacuran. Berada di tengah-tengahnya. Dengan begitu, teori Norma Jean Almodovar terjadi: Mempersulit pelacur lapor polisi jika dianiaya konsumen. Sebaliknya, konsumen merasa bisa melakukan apa saja terhadap pelacur karena sudah membeli. (*)