Kemitraan Strategis Indonesia-Tiongkok

Kamis 14-11-2024,14:14 WIB
Oleh: Sampe L. Purba*

UNCLOS membedakan antara negara pesisir dan negara kepulauan. Hanya ada lima negara (termasuk Indonesia) yang diakui sebagai negara kepulauan. UNCLOS telah diratifikasi 169 negara dan Uni Eropa. 

Namun, 15 negara belum meratifikasi, termasuk Amerika Serikat. Ketidaksepakatan AS terhadap UNCLOS terutama terkait kekhawatiran atas pembatasan kebebasan operasi dan hak menambang di dasar laut yang diatur oleh konvensi itu.

WILAYAH PENGEMBANGAN BERSAMA

Pada 2009, Tiongkok mengajukan nota ke PBB yang mengklaim ”kedaulatan tak terbantahkan” atas Laut China Selatan yang digambarkan dengan garis sembilan putus-putus. 

Namun, pada 2016, Pengadilan Arbitrase Internasional memutuskan bahwa klaim Tiongkok tersebut tidak sah secara hukum. Meski demikian, Tiongkok tetap mempertahankan klaimnya.

Perselisihan di Laut China Selatan melibatkan enam negara, yaitu Tiongkok, Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Taiwan. ZEE bukanlah wilayah kedaulatan. Oleh karena itu, tumpang tindih klaim di ZEE harus diselesaikan melalui diplomasi atau mekanisme hukum. 

Beberapa metode penyelesaian sengketa adalah negosiasi bilateral atau multilateral, perjanjian pengembangan bersama (joint development agreement atau JDA), arbitrase, pengadilan internasional, mediasi internasional, atau mekanisme yang diatur oleh UNCLOS. 

Misalnya, Thailand, Malaysia, dan Vietnam telah membentuk JDA di Teluk Thailand. Di bagian dunia lainnya, Australia dan Timor Leste memiliki kesepakatan di bawah Perjanjian Laut Timor.

PENDEKATAN BARU

Indonesia memiliki sekitar 83.000 kilometer persegi ZEE di Laut China Selatan, dengan sekitar 35.000 kilometer persegi tumpang tindih dengan klaim Tiongkok. 

Indonesia bukan pihak yang mengajukan klaim di Laut China Selatan, tetapi telah mengambil langkah simbolis, seperti kunjungan kepala negara ke LCS, mengganti nama area tersebut menjadi Laut Natuna Utara dan menegaskan bahwa Mahkamah Arbitrase Internasional tidak mengakui klaim Tiongkok di wilayah tersebut. 

Namun, pendekatan simbolis itu secara psikologis dan politis cenderung menghambat kerja sama yang lebih produktif.

Pendekatan baru dari Presiden Prabowo dalam pernyataan bersama dengan Presiden Xi Jinping mengusulkan model pengembangan bersama di Laut China Selatan yang fokus pada pengelolaan sumber daya bersama, peningkatan investasi, transfer teknologi, dan pembangunan kapasitas di industri perikanan dan maritim untuk mendukung stabilitas regional. 

Bagi Tiongkok, kerja sama itu juga menjadi pesan penting bagi negara-negara besar lainnya, seperti Amerika Serikat, yang mempromosikan konsep Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka.

Rencana JDA Indonesia-Tiongkok itu didasarkan pada prinsip saling menghormati, kesetaraan, saling menguntungkan, fleksibilitas, pragmatisme, dan konsensus serta menghormati hukum internasional. Pendekatan itu memastikan bahwa tidak ada hak kedaulatan kedua negara yang dikorbankan atau tergadaikan.

Pendekatan realistis Presiden Prabowo melalui model pengembangan bersama dengan Tiongkok merupakan langkah strategis dalam kebijakan maritim Indonesia. Dengan pendekatan yang pragmatis terhadap klaim yang tumpang tindih, Indonesia dapat memperkuat stabilitas di kawasan dan mendukung visinya menuju Indonesia Emas 2045. (*)

Kategori :