Pendidikan holistis adalah pendidikan yang tidak hanya mementingkan aspek kognitif, tetapi lebih menyeluruh. Misalnya, pengembangan karakter, sosial-emosional, serta minat dan bakat anak.
Di Asia, Singapura adalah salah satu negara yang menerapkan prinsip dari kedua belah dunia, yaitu mengadakan ujian nasional untuk seleksi ke jenjang pendidikan yang selanjutnya, tetapi di dalam kurikulum juga ditekankan pendidikan holistis.
Dengan didukung infrastruktur dan kualitas pendidik yang merata, Singapura berhasil menciptakan sistem pendidikan yang seimbang antara akademik dan pengembangan diri siswa.
Di sisi lain, ada pendapat bahwa kita harus belajar dari Vietnam yang skor PISA-nya di atas rata-rata OECD meski memiliki ujian nasional seperti yang pernah kita terapkan. Namun, Indonesia tetap tidak mampu meningkatkan skor PISA meski pernah menerapkan ujian nasional sebagai penentu kelulusan.
Itu menunjukkan bahwa keberadaan ujian nasional bukan faktor utama peningkatan keterampilan dasar anak-anak Indonesia.
Berdasar hal tersebut, saya berpendapat bahwa tantangan terbesar pendidikan Indonesia adalah ketidakmerataan infrastruktur dan kualitas pendidik, bukan pengembalian UN.
Kita, terutama pemerintah, harus fokus meningkatkan kualitas pendidik dan infrastruktur pendidikan secara merata melalui investasi dalam pelatihan guru, fasilitas belajar, infrastruktur internet, dan kurikulum yang relevan.
Di lain sisi, jika kita melihat ke masa depan, mengandalkan sistem pendidikan yang berfokus pada memorisasi tidak lagi relevan.
Dunia kerja dan kehidupan sosial saat ini membutuhkan individu yang kreatif, kritis, dan mampu beradaptasi dengan perubahan. Pembelajaran holistis lebih efektif dalam mengasah keterampilan tersebut.
Dalam kerangka pragmatisme Dewey, kita harus mempertimbangkan apa yang paling bermanfaat bagi murid dalam jangka panjang, bukan hanya jangka pendek.
Jika tujuan pendidikan adalah mempersiapkan murid untuk hidup di masyarakat yang dinamis, sistem pendidikan harus fleksibel dan adaptif terhadap kebutuhan zaman.
Pengembalian UN mungkin memberikan solusi jangka pendek untuk masalah standar kompetensi, tetapi dapat menghambat pengembangan keterampilan yang dibutuhkan di masa depan.
Terlebih lagi, untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045, kita membutuhkan keterampilan berpikir tingkat tinggi (C4 hingga C6 dalam Taksonomi Bloom Revisi), tidak hanya untuk bekerja di masa depan dengan situasinya yang kompleks, tetapi juga untuk menciptakan kesempatan.
Generasi muda harus mampu menciptakan lapangan pekerjaan baru di tengah krisis pengangguran yang sedang terjadi di Indonesia saat ini.
Selain menjadi tanggung jawab pemerintah, hal tersebut merupakan wujud dari salah satu konsep etika tertinggi di dunia Barat, yaitu imperatif kategoris dari Immanuel Kant.
Menurut Kant, suara hati nurani mendorong kita untuk berbuat baik, benar, berkontribusi positif bagi kehidupan orang lain, sebagai perintah tertinggi. Oleh karena itu, setiap individu, termasuk pendidik dan siswa, memiliki peran dalam mewujudkan masa depan Indonesia yang lebih baik.