ISU pengembalian ujian nasional (UN) kembali mencuat di media sosial Indonesia. Di tengah penerapan Kurikulum Merdeka yang menekankan pembelajaran yang seru dan menyenangkan, banyak pihak yang menginginkan UN diadakan kembali.
Mereka berargumen bahwa kemampuan dasar murid-murid Indonesia tidak sebaik dahulu.
Sebagai seorang pendidik yang pernah menjadi wali kelas VI SD dan mempersiapkan murid untuk menghadapi UN, saya merasakan dilema itu secara langsung.
Melalui perspektif pragmatisme John Dewey dan prinsip moral imperatif kategoris dari Immanuel Kant, kita dapat menganalisis apakah pengembalian UN adalah langkah yang tepat untuk konteks pendidikan Indonesia saat ini.
John Dewey, filsuf dan pendidik Amerika Serikat, mengemukakan bahwa pendidikan harus berorientasi pada pengalaman dan praktik nyata, bukan sekadar transfer pengetahuan secara teoretis.
Dalam pandangan pragmatisme yang sering dirujuk sebagai filosofi pendidikan zaman ini, kebenaran ditentukan oleh hasil praktis dan manfaatnya bagi kehidupan. Dengan demikian, pendidikan harus mempersiapkan individu untuk menghadapi tantangan nyata dalam masyarakat.
Pengalaman saya mempersiapkan murid untuk UN sangatlah berat. Fokus pembelajaran di kelas terpusat pada materi yang akan diujikan, mengesampingkan aspek lain yang sebenarnya penting untuk pengembangan kompetensi dan karakter murid.
Pembelajaran menjadi monoton dan kurang menyenangkan. Itu bertentangan dengan prinsip pendidikan yang holistis dan menyeluruh.
Di sisi lain, sejak penerapan Kurikulum Merdeka yang menghapus UN, pembelajaran di kelas menjadi lebih dinamis dan interaktif. Murid-murid lebih antusias dalam belajar karena metode yang digunakan lebih variatif dan menyenangkan.
Hal itu sejalan dengan pandangan Dewey yang menekankan pentingnya pengalaman belajar yang bermakna dan relevan dengan kehidupan murid.
Namun, muncul kekhawatiran bahwa tanpa UN, standar kompetensi dasar murid menurun. Banyak yang berpendapat bahwa UN diperlukan sebagai alat ukur untuk memastikan kualitas pendidikan secara nasional.
Mereka melihat contoh negara seperti Tiongkok yang memiliki ujian nasional seperti Gaokao. Meski, ujian tersebut lebih difokuskan untuk seleksi masuk perguruan tinggi, bukan kelulusan sekolah.
Pengaruh sistem pendidikan Tiongkok itu juga meluas ke negara-negara sekitarnya. Dengan begitu, praktik tes, baik untuk kelulusan maupun seleksi, menjadi umum di banyak negara di dunia Timur.
Tes nasional seperti Gaokao dianggap sebagai ujian yang sangat menentukan masa depan siswa. Namun, sistem itu juga mendapat kritik karena tekanan yang berlebihan pada siswa dan fokus yang terlalu besar pada hasil ujian daripada proses pembelajaran itu sendiri.
Antitesis dari Gaokao adalah pendidikan holistis yang sering menjadi esensi dari pendidikan di dunia Barat.