Dengan demikian, solusi terbaik mungkin bukan mengembalikan UN dalam bentuk yang sama, tetapi mencari alternatif evaluasi yang dapat mengukur kompetensi murid secara komprehensif tanpa mengorbankan kualitas proses pembelajaran.
Penilaian berbasis proyek, portofolio, dan asesmen formatif dalam hal ini dapat dilanjutkan untuk menjadi pilihan asesmen untuk mengevaluasi kemampuan murid secara lebih holistis, tidak hanya mengandalkan asesmen non-autentik.
Kesimpulannya, dilema pengembalian UN mencerminkan tantangan dalam mencari keseimbangan antara kebutuhan praktis dan aspirasi ideal dalam pendidikan Indonesia.
Melalui pendekatan pragmatisme John Dewey, kita diajak untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang dari setiap kebijakan pendidikan.
Selain itu, dengan menerapkan prinsip imperatif kategoris dari Immanuel Kant, kita diingatkan akan tanggung jawab moral untuk berkontribusi positif bagi kehidupan orang lain melalui pendidikan yang holistis.
Daripada kembali ke sistem yang berfokus pada memorisasi, kita perlu berinovasi dan beradaptasi untuk menciptakan pendidikan yang tidak hanya mempersiapkan murid menghadapi tantangan masa depan dengan keterampilan masa depan, tetapi juga membentuk mereka menjadi individu yang beretika dan bertanggung jawab tinggi. (*)
*)Ryan Oktapratama adalah Founder & Academic Trainer PT Lentera Reformasi Edukasi (LRE).