Misalnya, gerakan 'sembah' yang punya makna mendalam. Gerakan itu dimulai dari menguncupkan kedua tangan di atas kepala yang bermakna untuk menyembah Tuhan.
Lalu di depan kepala untuk menyembah raja dan terakhir di depan dada untuk menghormati sesama. Nilai-nilai itu yang kini hilang di antara para penari.
"Kalau kamu serius mendalami seni tari, mendatangi tempat asal dari tarian itu sebuah keharusan. Jangan sampai kita melupakan makna yang terkandung dari sebuah tarian," tutur pria yang 13 November lalu berulang tahun ke-70 itu.
BACA JUGA:BAPE 2024 di PTC Surabaya, Hadirkan Seni Digital Vlosophy Visual
BACA JUGA:Nostalgia Risma di Kediri, Ajak Masyarakat Bersatu Melalui Seni dan Budaya
Didik pun membagikan kisahnya ketika ditanyai seorang peneliti yang berasal dari Amerika Serikat tentang sebuah mantra di tarian Cirebon.
"Duh mati aku, seng wong asline dewe durung oleh infone eh wong njobo wes nemu mantrane," ucapnya lalu terkekeh.
Hal-hal demikian harus diantisipasi oleh para penari muda agar mampu menjelaskan segala unsur dari sebuah tarian.
Dengan begitu, orang luar Indonesia bisa mengetahui bahwa kita mencintai budaya sendiri.
Selain itu, Didik juga menyoroti tren-tren K-pop yang makin menggerus jati diri orang-orang Indonesia.
Contoh sederhananya, ketika berfoto, kini orang-orang menggunakan simbol saranghae.
"Nah, karena itu saya sedang menggalakan penggunaan simbol makna sayang yang khas kepunyaan Indonesia," ucapnya sembari melakukan ngiting.
Sesi foto bersama peserta yang disambut sangat antusias. -Dinar Mahkota Parameswari-HARIAN DISWAY
Sebab, kata Didik, bila tidak memahami maknanya maka akan memalukan diri sendiri.
Gerakan tersebut umumnya digunakan pada tari-tari khas Indonesia. Tetapi, jauh sebelum itu Didik mengatakan bahwa ngiting berguna untuk memberi salam seperti di masa lalu.
Ia berharap dengan pengalaman yang telah dibagikan, para penari bisa semakin mencintai tarian Nusantara.