Kurikulum dan Fenomena Pelajar Masa Kini, Transisi Belum Efektif

Senin 25-11-2024,20:06 WIB
Reporter : Ghinan Salman
Editor : Guruh Dimas Nugraha

Media sosial belakangan ini diramaikan dengan video yang menunjukkan banyak siswa kesulitan menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar. Fenomena itu memicu keprihatinan di kalangan masyarakat dan pendidik tentang kualitas pendidikan di Indonesia.

Konten-konten tentang para pelajar menjadi viral. Bukan karena kreativitas mereka atau prestasi. Konten itu viral karena para pelajar tidak dapat menjawab pertanyaan sederhana dan mendasar. Seperti nama presiden pertama Indonesia atau soal aritmatika simpel.

Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Teguh Sumarno menanggapi hal itu. Ia menyatakan bahwa kondisi tersebut mencerminkan masalah mendasar dalam sistem pendidikan. 


Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Teguh Sumarno.-Teguh Sumarno-Harian Disway

“Apa yang kita lihat di media sosial adalah cerminan dari tantangan besar yang dihadapi pendidikan kita saat ini,” ujar Teguh, pada Sabtu, 23 November 2024.

Ia menilai, meski sebagian siswa memiliki pengetahuan yang cukup, banyak dari mereka yang belum menguasai materi dasar. 

Hal itu diperburuk oleh transisi dari kurikulum sebelumnya menjadi Kurikulum Merdeka, yang meskipun menawarkan fleksibilitas dalam pembelajaran, belum sepenuhnya efektif. “Kurikulum Merdeka perlu dilakukan evaluasi berkelanjutan. Agar materi dasar tetap menjadi prioritas,” tambah Teguh.

Kurikulum Merdeka Perlu Penyesuaian

Kurikulum Merdeka yang diterapkan dua tahun terakhir memungkinkan siswa untuk belajar lebih bebas dan inovatif. Namun, kebebasan itu sering disalahpahami. Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur Prof. Dr. Warsono, mengungkapkan bahwa banyak siswa menganggap kebebasan itu sebagai alasan untuk tidak belajar.

“Pemahaman kebebasan dalam Kurikulum Merdeka harus diarahkan ke kebebasan berpikir dan bertanya. Bukan kebebasan tanpa tanggung jawab,” jelas Warsono, yang juga mantan Rektor Universitas Negeri Surabaya.

Dengan cara itu, siswa diajarkan untuk menjadi pembelajar yang aktif, yang selalu mencari tahu. Sehingga siswa bisa mendapatkan jawaban komprehensi dari proses berpikir yang dilakukan secara terus-menerus. 

“Proses berpikir ini harus menjadi budaya dalam pendidikan. Jika siswa diajari untuk bertanya, mereka akan lebih terdorong untuk mencari jawaban,” katanya.

Ia menambahkan bahwa siswa perlu didorong untuk memiliki rasa ingin tahu dan motivasi belajar yang tinggi. “Ketika siswa kehilangan rasa ingin tahu, mereka tidak lagi terdorong untuk mencari jawaban, dan ini berbahaya bagi masa depan pendidikan kita,” katanya.

Kesenjangan dan Zonasi Pendidikan

Selain kurikulum, Teguh menyoroti kesenjangan pendidikan akibat sistem zonasi. Menurutnya, jika zonasi tidak disertai pemerataan fasilitas pendidikan, ketidakadilan dalam akses pendidikan akan terus terjadi. “Zonasi tanpa fasilitas yang memadai hanya menciptakan kesenjangan kemampuan antar siswa,” tegasnya.

Teguh juga mengingatkan bahwa pendidikan seharusnya tidak hanya berfokus pada nilai, tetapi juga pada pengembangan berpikir kritis. “Siswa perlu diajarkan untuk memahami dan menganalisis, bukan sekadar menghafal,” ujarnya.

Kategori :