Namun, Linda punya strategi: ”Itu terungkap dalam permainan. Ajaklah mereka bermain. Temanilah mereka, saat mereka berkata: Pow! Pow! Pow! (suara letusan tembakan). Itu sangat dramatis. Saat saya menonton anak itu begitu, saya berpikir, bagus… Teruskan, Nak. Ungkapkan perasaanmu. Letakkan di tempat yang tepat.”
Suatu hari di South-Central Los Angeles, Saundrea Young, salah seorang pendiri Loved Ones of Homicide Victims, memandu setengah lusin anak-anak, usia 5 hingga 11 tahun, melakukan latihan. Mereka adalah anak-anak yang kehilangan anggota keluarga yang mati.
Seorang gadis kecil menggambar sebuah rumah dan mewarnainya dengan kuning cerah.
Young: ”Kelihatannya rumah itu sangat bahagia.”
Gadis kecil: ”Begitulah… Sampai seseorang datang. Lalu, pow… pow… pow…”
Gadis cilik itu berkata dengan suara datar. Karena yang dia gambarkan itu kejadian lama pada keluarga dia. Tapi, Young sedih mendengarnya.
Studi lain terhadap anak kembar berusia dua setengah tahun, menepis mitos bahwa anak-anak yang sangat kecil tidak akan mengingat atau memahami kekerasan yang mereka saksikan. Kenyataannya tidak begitu.
Si kembar itu telah menyaksikan ayah tiri mereka menembak ibu kandung mereka. Si kembar membawa kenangan tersebut sampai bertahun-tahun setelah kejadian.
Kini si kembar berusia 15 tahun. Diwawancarai wartawan LA Times. Si kembar cerita tentang tragedi 12 tahun silam itu secara bergantian.
Kembar: ”Ibu kami ditikam pria itu (tidak menyebut ayah) di halaman depan rumah kami. Kami melihatnya sambil duduk di dalam mobil karena kami sebenarnya sudah siap berangkat pergi.”
Dilanjut: ”Kemudian ibu lari, sampai jatuh berguling menuruni rumput ke arah mobil, tepat ke arah kami di dalam mobil. Lalu, pria itu mengejarnya. Tertangkap. Lalu, pria itu berguling di atas tubuh ibu dan mulai menusuknya. Akhirnya pria itu menggoroknya.”
Satu di antara si kembar menangis, ”Mama-bebe, mama-bebe…” Kembar satunya keluar dari mobil, berlari ke sisi ibu yang terbaring berdarah-darah.
”Saya berdiri di sana, tepat di samping ibu saya,” kata salah seorang. ”Saya hanya ingat berdiri di sana dan memanggil namanya, tetapi dia tidak menjawab. Dan, itu membuat saya kesal. Saya kira saya jadi punya ide. Ada darah di mana-mana.”
Ketika ayah tiri mereka dijatuhi hukuman seumur hidup, nenek si kembar memberi tahu pengadilan dalam sebuah surat, bahwa setelah berbulan-bulan menjalani terapi, salah satu saudara kembar masih mengalami mimpi buruk sesekali ... dan sering menangis memanggil ibunya. Saudara kembar lainnya menjadi pemurung dan menarik diri.
Kini si kembar: ”Saya masih mengalami mimpi buruk. Saya masih terus memikirkannya. Mimpi buruk itu akan terus menghantui saya sampai saya meninggal.”
Maka, jangan sepelekan anak-anak yang bernasib sial itu. Mereka butuh pertolongan pakar psikiatri. (*)