Lawatan Tim FISIP Universitas Airlangga ke Jepang (3): Warga Kota Tokyo, Benarkah Soliter?

Selasa 10-12-2024,15:43 WIB
Oleh: Agastya W.* & Bagong Suyanto**

Sebagian mengabadikan pemandangan daun jatuh dengan handphone. Ada yang mengambil foto. Ada pula yang menvideokannya. 

Apakah warga Kota Tokyo memang soliter dan tidak perlu menyapa warga yang lain? Pertanyaan itu menjadi bahan diskusi kami, tim FISIP Universitas Airlangga. Pertanyaan tersebut makin menarik didiskusikan setelah kami makan siang di sebuah rumah makan. 

Nama rumah makannya Yoshinoya. Sebuah restoran cepat saji yang tidak besar, bahkan tergolong kecil. Hanya seukuran 5 x 7 meter. Kursi yang tersedia hanya sepuluh. Letaknya di lantai dua sebuah ruko. 

Meja makan ditata membentuk huruf U yang menempel ke tembok dan jendela. Pengunjung yang ingin makan bisa memesan langsung lewat iPad yang ditaruh di setiap meja. Setelah memilih makanan mana yang diinginkan, kira-kira dalam hitungan 2-3 menit makanan yang dipesan sudah keluar dan mereka bisa mengambilnya sendiri di meja konter yang tersedia. 

Yang menarik, sepanjang kami makan di sana, orang-orang Tokyo yang makan tampak datang sendiri-sendiri. Mereka tidak berbicara satu dengan yang lain. Percakapan yang terjadi sangat minimalis. 

Semua warga Tokyo yang makan di rumah makan itu langsung menghabiskan apa yang mereka pesan. Begitu selesai, mereka segera meninggalkan tempat tanpa berbicara dengan pengunjung yang lain. Meja dan kursi yang ditata tidak berhadap-hadapan. 

Meja didesain menghadap tembok atau jendala sehingga semua tamu yang berkunjung hanya berhadapan dengan tembok atau jendela kaca. Rumah makan Yoshinoya itu memang bukan gambaran dari semua rumah makan yang ada di Tokyo. 

Tetapi, apa yang terjadi di rumah makan tersebut apakah merefleksikan kehidupan sehari-hari warga Tokyo yang soliter dan individualistis?

MENUSIAWI

Kita kadang mendengar bahwa stereotipe orang Jepang adalah pekerja keras, disiplin, dan kasar ketika berbicara. Apakah dalam kenyataan memang seperti itu? Dalam kunjungan yang singkat, tentu tidak mungkin kami bisa memastikan bagaimana sebetulnya karakteristik orang Jepang. 

Namun, dari pengalaman kami berinteraksi dengan sejumlah orang Jepang, kami memperoleh kesan bahwa mereka tidaklah sekaku yang selama ini kami konstruksi. Beberapa orang Jepang yang kami temui dan ajak berbincang ternyata sangat ramah.

Orang-orang yang bergerak di bidang pelayanan –seperti pegawai hotel, penjaga keamanan perpustakaan, pelayan toko, dan beberapa orang yang kami sempat berbincang– ternyata sangat ramah dan helpfull

Beberapa orang yang kami temui di jalan pun, ketika kami tersenyum, mereka pun spontan membalas tersenyum. Jadi, berbeda dengan kesan selama ini, pengalaman kami membuktikan bahwa warga kota metropolitan seperti Tokyo, mereka ternyata adalah orang-orang yang sebetulnya rindu pada perjumpaan dan interaksi sosial. 

Masalahnya, siapa yang memulai terlebih dahulu.

Didera beban kerja dan tekanan kebutuhan hidup mungkin membuat sebagian warga Kota Tokyo menjadi kaku dan letih. Namun, tidak berarti mereka menutup diri dari sapaan dan perhatian orang lain yang menyapanya. 

Tokyo adalah kota metropolitan yang seolah tidak pernah tidur. Di sana jutaan penduduk mengadu nasib. Mencegah agar warganya tidak telanjur berkembang menjadi orang-orang yang soliter dan kaku, barangkali sapaan dan senyumlah yang akan membuat Tokyo lebih manusiawi. (*)

Kategori :